Uskup di Papua Sebut Tambang Nikel di Raja Ampat Lukai Alam dan Kehidupan Masyarakat

nikel, Raja Ampat, Uskup Timika, tambang nikel di Raja Ampat, raja ampat, raja ampat papua, uskup timika, uskup timika Bernard Baru, tambang nikel di raja ampat, Raja Ampat Nikel, nikel di Raja Ampat, uskup Timika protes tambang di Raja ampat, Uskup Timika Monsinyur Bernardus Bofitwos Baru OSA, Uskup di Papua Sebut Tambang Nikel di Raja Ampat Lukai Alam dan Kehidupan Masyarakat

Polemik tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memunculkan beragam reaksi dari masyarakat.

Salah satunya datang dari Uskup Timika, Monsinyur Bernardus Bofitwos Baru OSA, yang secara tegas menyuarakan penolakannya terhadap aktivitas tambang yang dinilai merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat Papua.

Dalam beberapa hari terakhir, gelombang penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat semakin besar.

Warga menyuarakan kecemasan bahwa aktivitas pertambangan akan merusak sumber penghidupan, mencemari lingkungan, dan membawa dampak panjang terhadap kesehatan generasi mendatang.

Sementara itu, pemerintah menyatakan masih melakukan evaluasi terhadap keberadaan tambang nikel di wilayah Raja Ampat.

Di sisi lain, terdapat pula sebagian masyarakat yang mendukung keberadaan tambang karena mengaku menikmati manfaat ekonomi dari aktivitas tersebut dan menilai alam masih dalam kondisi baik.

Uskup Timika: Perasaan Saya Tercabik-cabik

Uskup Bernardus, yang baru ditahbiskan sebagai Uskup Papua kedua dalam sejarah Gereja Katolik pada Mei 2025, menyatakan kekecewaannya terhadap praktik tambang yang dianggap merusak alam Raja Ampat.

“Perasaan saya tercabik-cabik. Selama ini, Raja Ampat diagung-agungkan. Lalu, perusahaan datang merusak. Ini berdampak pada banyak nilai, mulai dari lingkungan, iklim, hingga harmoni alam. Hati ini sedih melihat luka dibiarkan menganga, tetapi ditutupi seakan tidak ada apa-apa,” ujar Mgr Bernardus kepada Kompas, Senin (9/6/2025).

Uskup yang berasal dari Maybrat, Papua Barat Daya, ini menegaskan bahwa kerusakan ekologi akibat tambang nikel akan semakin menyudutkan masyarakat Papua, khususnya yang hidup di wilayah Raja Ampat.

“Ini merupakan bagian dari pencaplokan alam serta pemusnahan alam dan manusianya. Mereka itu seakan tidak lagi memperhitungkan manusia di sana. Harus ada gerakan bersama, termasuk lembaga internasional, ikut menekan negara agar mereka mau mendengar,” tegasnya.

Menurut dia, masyarakat Papua telah menjaga alam Raja Ampat secara turun-temurun sebagai bagian dari identitas dan sumber kehidupan.

Namun, manfaat dari pertambangan justru hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, sedangkan masyarakat lokal merana menyaksikan kerusakan alam yang terjadi.

“Operasi tambang akan membuat masyarakat semakin terimpit,” imbuhnya.

Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi tambang nikel di sejumlah pulau di Raja Ampat telah berdampak besar terhadap ekosistem.

Aktivitas tambang yang terjadi di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran disebut telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami.

Dampak dari pembukaan lahan dan eksploitasi tambang ini dikhawatirkan tidak hanya merusak keanekaragaman hayati, tetapi juga menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Bupati Raja Ampat: Warga Tandatangani Izin tanpa Koordinasi

Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam, mengakui bahwa sejumlah masyarakat adat di wilayahnya telah menandatangani persetujuan untuk aktivitas pertambangan nikel tanpa melalui koordinasi dengan pemerintah daerah.

"Jadi ini masyarakat-masyarakat adat yang punya wilayah-wilayah ini benar mereka sudah tanda tangan persetujuan untuk melaksanakan aktivitas seperti tambang di wilayah-wilayah mereka," ujar Orideko dalam tayangan Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Senin (9/6/2025).

"Mereka lakukan ini tanpa ada koordinasi, konfirmasi dengan kami di pemerintah," tambahnya.

Orideko menjelaskan bahwa minimnya koordinasi ini menyulitkan pemerintah dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dampak jangka panjang dari tambang nikel.

Ia berharap ke depan investor wajib berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah sebelum memulai operasi.

"Nanti setelah terjadi begini, baru mereka (masyarakat adat) bingung. Sehingga saya harap ke depan juga bagi investor yang mau masuk ya harus lewat pemerintah dulu supaya konfirmasi. Lalu kita nanti jembatani," jelasnya.

Orideko juga mengaku terkejut atas sejumlah izin tambang yang beredar dan bahkan disebut dikeluarkan atas nama pemerintah daerah.

"Saya kira kadang-kadang juga tidak ada terlibat dengan kami, pemerintah daerah, khusus di kabupaten. Satu contoh hari ini, saya sebagai Bupati Raja Ampat, saya baru kaget juga dengan izin-izin (tambang) ini semua," ujarnya.

"Bahkan ada isu lagi yang izin (tambang) tahun 2025 keluar ditandatangani oleh kami. Kami juga bingung lagi. Sehingga kami mengharapkan juga harus ada keterlibatan dinas, pemerintah, terutama bupati, wakil bupati, sekda," tambahnya.

Hanya Satu Perusahaan yang Masih Beroperasi

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin usaha pertambangan di wilayah Raja Ampat. Kelima perusahaan tersebut adalah:

  • PT Gag Nikel
  • PT Anugerah Surya Pratama
  • PT Kawei Sejahtera Mining
  • PT Mulia Raymond
  • PT Nurham

Namun demikian, menurut Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, hanya satu perusahaan yang saat ini masih aktif beroperasi, yakni PT Gag Nikel, anak perusahaan dari Antam.

Kementerian ESDM telah mengambil langkah dengan menghentikan sementara seluruh aktivitas tambang nikel perusahaan tersebut.

Evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan penambangan dan dampaknya terhadap lingkungan sedang dilakukan.

Sebagian Artikel Tayang di Kompas.id dengan judul "Bahkan Uskup di Papua Pun Geram atas Kerusakan Alam Raja Ampat", serta artikel Kompas.comdengan judul "Bupati Raja Ampat Akui Masyarakat Adat Setujui Izin Tambang Nikel Tanpa Koordinasi"