Dijanjikan Gaji 900 Dolar di Thailand, Perempuan Asal Jogja Ini Malah DIjebak Jadi Scammer di Kamboja

Kamboja, scammer, Scammer, pekerja migran, perdagangan manusia, pekerja migran ilegal, Jogja, Dijanjikan Gaji 900 Dolar di Thailand, Perempuan Asal Jogja Ini Malah DIjebak Jadi Scammer di Kamboja

Puspa, perempuan muda asal Yogyakarta, menjadi korban penipuan lowongan kerja melalui media sosial.

Ia awalnya ditawari pekerjaan di Thailand dengan gaji sebesar 900 dolar AS per bulan, namun justru berakhir di Kamboja dan dipaksa bekerja sebagai scammer.

“Saya cari pekerjaan di sosial media Facebook. Saya memposting saya bisa kerja, apa pengalaman saya. Lalu ada seorang wanita yang inbox ke Facebook saya. Dia menawarkan pekerjaan awalnya di Macau," cerita Puspa , seperti dikutip dari laman Pemprov DIY.

Tidak sampai di situ, Puspa kemudian menjalin komunikasi dengan oknum tersebut melalui WhatsApp.

"Lalu saya tukeran nomor WhatsApp. Kita hubungannya lewat WhatsApp, telepon-teleponan, WhatsApp-an, dan sempat video call juga. Kita intens satu bulan penuh kita berhubungan,” ujarnya.

Wanita tersebut kemudian mengaku memiliki restoran di Thailand dan menawarkan Puspa posisi sebagai staf dapur.

Semua dokumen dan work permit disebut akan diurus setelah tiba di negara tujuan, seperti sistem calling visa yang pernah Puspa jalani saat bekerja di Singapura.

Namun kenyataannya, Puspa diberi tiket pesawat ke Ho Chi Minh, Vietnam. Ketika ia mempertanyakan hal itu, penyalur hanya menyuruhnya tenang dan percaya.

Sesampainya di Ho Chi Minh, ia dijemput seorang pria dan dibawa menyeberang ke Kamboja tanpa mengetahui tujuan pastinya.

“Dari Ho Chi Minh, saya dijemput seorang pria menggunakan motor untuk menuju ke Kamboja. Tapi itu saya belum tahu kalau mau dibawa ke Kamboja,” ujarnya.

Dipaksa Jadi Scammer, Diancam Bila Tidak Mencapai Target

Setelah melewati imigrasi Kamboja, Puspa tak bisa lagi menghubungi penyalurnya.

Ia kemudian menyadari bahwa dirinya telah dijual, terutama saat melihat seorang pria Tiongkok menyerahkan uang ke orang yang membawanya.

Puspa kemudian dibawa ke sebuah apartemen dan dimasukkan ke ruangan berisi 45 pria yang bekerja menggunakan komputer. Ia bingung dan bertanya pada salah satu orang di sana.

“Ini sebenarnya kita kerja apa? Dia bilang, ‘Kita bekerja sebagai scammer atau penipuan online,’” kata Puspa.

Sebagai lulusan SMP yang tidak terbiasa menggunakan komputer, Puspa merasa asing dan tertekan. Namun demi bertahan hidup, ia terpaksa mengikuti sistem penipuan tersebut.

Menurutnya, scammer menargetkan orang Indonesia, dikelola oleh orang Tiongkok, berkantor di Kamboja, dan mempekerjakan orang Indonesia.

Korban diarahkan untuk mengunduh aplikasi, melakukan top up uang, dan dijanjikan imbal hasil yang tinggi.

Setelah masuk ke grup Telegram yang dikendalikan aktor dan mentor, korban diminta menyetor hingga puluhan juta rupiah. Ketika mencoba menarik dana, korban malah diminta membayar lebih banyak dengan alasan “kesalahan VIP”.

“Kalau dapat link-link mencurigakan, jangan dibuka, lebih baik tinggalkan, blokir aja,” pesan Puspa.

Kerja Dibayangi Ancaman dan Denda yang Tidak Manusiawi

Selama bekerja di Kamboja, Puspa harus menghadapi tekanan dan ancaman yang berat. Ia ditargetkan untuk menipu hingga Rp300 juta per bulan.

Namun, jika hasil penipuan di bawah Rp150 juta, gajinya dipotong. Bahkan ketika mendapat hasil bawah Rp100 juta, ia tidak digaji sama sekali.

Gaji awal yang dijanjikan sebesar 800 dolar AS (sekitar Rp12 juta) ternyata dipotong berbagai denda. Puspa juga tidak tahu persis berapa yang benar-benar ia terima.

“Resiko yang kita alami, kita bisa disetrum, atau dilempar dari lantai tiga, dan itu sudah teman saya alami. Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang,” ungkapnya.

Jam kerja berlangsung dari pukul 09.00 hingga 00.00. Puspa didenda $10 (Rp150.000) jika terlambat, terlalu sering ke toilet, atau melebihi waktu maksimal 10 menit di toilet. Bahkan tidur atau memejamkan mata sebentar pun dikenai denda $50.

Tidak hanya itu, para pekerja dilarang membuka aplikasi lain selain yang digunakan untuk kerja.

Jika dianggap tidak produktif, mereka bisa dijual ke perusahaan lain dan harus membayar “denda” sebesar Rp15 juta.

Berusaha Kabur, Puspa Akhirnya Bisa Kembali ke Indonesia

Tak tahan dengan kondisi tersebut, Puspa akhirnya mencari cara untuk melarikan diri.

Ia menghubungi KBRI untuk minta pertolongan, meski terkendala karena statusnya sebagai pekerja ilegal.

Ia sempat ditahan selama satu bulan di Imigrasi Kamboja sambil menunggu proses deportasi.

Setelah kembali ke Indonesia, Puspa mencari bantuan dan diarahkan ke Dinas Sosial DIY oleh BP3MI.

“Terima kasih sama Dinas Sosial. Karena saat ini saya dibantu semuanya dari mental, kebutuhan hidup, kebutuhan pangan pun saya dibantu sampai saat ini. Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya,” kata Puspa.

Kini, Puspa menjalani proses rehabilitasi di bawah naungan Dinas Sosial DIY.

Ia mendapatkan pelatihan keterampilan dan pendampingan psikososial. Meski masih menjalani pemulihan, Puspa perlahan mulai menata hidupnya kembali.

Dengan membagikan kisahnya, ia berharap tidak ada lagi orang yang mengalami kejadian serupa seperti dirinya.

“Tolong jangan percaya dengan hal yang instan. Bekerjalah sesuai proses. Nanti enaknya itu mungkin bukan di depan, enak itu nanti hasilnya di belakang. Memang kalau orang Jawa itu, susah-susah dahulu, kayak gitu loh. Angel-angel sik, nikmati, itu benar,” ujarnya.

Puspa kini hanya ingin hidup damai bersama keluarga di kampung halaman, dan berencana membuka usaha kuliner sederhana.

“Saya ingin membahagiakan keluarga tanpa harus bekerja di luar negeri, tapi berkarya di sini,” tutupnya.