WNI Korban TPPO Ungkap Kekerasan di Pusat Judi Online Kamboja: Saya Disiksa Sebulan Penuh

Kisah pilu Ita (nama samaran) membuka tabir kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan Indonesia di pusat-pusat judi daring di Kamboja.
Dari Desember 2023 hingga Agustus 2024, Ita menjadi korban kekerasan fisik dan seksual setelah dijebak oleh jaringan perdagangan orang yang mempekerjakannya sebagai admin judi daring.
"Mereka benar-benar satu bulan penuh menyiksa saya, dari pelecehan sampai pukulan," ujar Ita kepada BBC News Indonesia.
Pengalaman pahit Ita bermula saat ia menerima tawaran pekerjaan bergaji tinggi dari mantan kakak kelasnya.
Tawaran itu ternyata berujung pada pengiriman paksa ke Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Sesampainya di sana, Ita dipaksa menyerahkan paspor dan bekerja selama 12 jam sehari tanpa kepastian hak.
Apa Bentuk Kekerasan yang Dialami Korban?
Ketika tidak mampu memenuhi target kerja, Ita dikurung selama sebulan di gudang, diberi makan dua hari sekali, dan menjadi korban kekerasan seksual.
Para pelaku bahkan merekam aksi mereka dan mengancam menyebarkannya jika Ita melapor.
Tak hanya Ita, banyak perempuan lain mengalami nasib serupa. Mereka direkrut melalui tipu daya dan dipekerjakan untuk membujuk orang bermain judi online.
Selain melayani permintaan seksual secara verbal dari klien, mereka juga diharuskan membuat akun media sosial dengan konten dewasa.
Mengapa Perempuan Sangat Rentan Terhadap TPPO?
Menurut Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah, perempuan mengalami eksploitasi berlapis: fisik, ekonomi, dan seksual.
Relasi kuasa dimanfaatkan pelaku untuk mengancam dan mengendalikan korban. Stereotip gender, lemahnya perlindungan hukum, budaya patriarki, dan kondisi sosial ekonomi korban menjadi faktor utama kerentanan ini.
"Ketika korbannya perempuan, penderitaan yang dialami jauh lebih kompleks," jelas Anis.
Bagaimana Proses Rekrutmen dan Penjebakan Terjadi?
Kasus Ita bukanlah satu-satunya. Nisa (nama samaran) juga mengalami nasib serupa setelah menerima tawaran dari teman lama. Ia dikirim ke Kamboja dan dipaksa menandatangani kontrak kerja satu tahun dengan denda besar. Di sana, ia harus menjalankan modus penipuan dengan berpura-pura sebagai customer service.
Kekerasan fisik dan ancaman menjadi hal biasa bagi mereka yang gagal menjalankan tugas. Bahkan, sesama pekerja yang berasal dari Indonesia pun kerap menjadi pelaku kekerasan.
Kementerian Luar Negeri RI mencatat bahwa dari total 7.628 kasus TPPO, 4.300 di antaranya terjadi di Kamboja.
Pada Februari–Maret 2025, 699 WNI berhasil dipulangkan dari Myanmar, dan 10 di antaranya mengaku mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, menyatakan bahwa penegakan hukum sangat bergantung pada keberanian korban untuk melapor.
"Jika tidak dilaporkan, pelaku akan terus melakukan aksinya," kata Judha.
Kemlu telah bekerja sama dengan LPSK untuk memberikan perlindungan kepada korban dan mendorong mereka melaporkan kekerasan yang dialami.
Apa Solusi Jangka Panjang untuk Mengatasi TPPO?
Pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja menekankan pentingnya perlindungan WNI, terutama perempuan, sejak awal keberangkatan.
Pendataan dan perlindungan hukum terhadap WNI yang tak terdata masih menjadi masalah besar.
"Selama ini data WNI di luar negeri hanya berdasarkan pelaporan. Itu sangat tidak cukup untuk perlindungan jangka panjang," jelas Dinna.
Ita akhirnya berani bersuara demi mencegah terulangnya tragedi yang ia alami.
"Saya tidak mau ada orang lain yang mengalami kejadian seperti ini. Di sana itu sudah seperti neraka. Orang-orangnya iblis," ujarnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".