Perlunya Kampanye Keterlibatan Ayah yang Transformatif

JUNI yang baru saja kita lewati adalah bulan peringatan untuk ayah. Lebih dari 75 negara di dunia merayakan Hari Ayah, termasuk di Indonesia yang merayakan Hari Ayah Nasional setiap 12 November, sejak Deklarasi Hari Ayah Nasional pada 2016 (Kemdikbud, 2020).
Sejak deklarasi tersebut mulai digaungkan slogan “Ayah Hebat, Ayah Terlibat“.
Slogan tersebut muncul bukan tanpa alasan. Sebab, keterlibatan ayah dalam pengasuhan di Indonesia, dianggap kurang.
Data UNICEF tahun 2021 menunjukkan bahwa 20,9 persen anak di Indonesia kehilangan keterlibatan ayah dalam kehidupan sehari-harinya.
Bahkan pada 2023, masyarakat sempat dihebohkan dengan klaim bahwa Indonesia merupakan negara fatherless terbanyak ketiga di dunia yang diangkat banyak media massa.
Walaupun klaim tersebut dipatahkan dengan tidak ditemukannya referensi ilmiah dan survei yang kredibel tentang itu, tetapi pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan memang memerlukan advokasi khusus.
Peran ayah dalam pengasuhan kemudian ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA).
UU KIA menyatakan bahwa perawatan dan pengasuhan anak merupakan tanggung jawab ayah dan ibu.
Dengan disahkannya UU KIA, pemerintah pusat dan daerah wajib memastikan ayah dan ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan.
Melalui UU KIA, politik “fatherhood” (Baskerville, 2002, p. 1) dengan resmi dilegitimasi dan “fatherlessness” menjadi masalah nasional yang perlu diselesaikan bersama.
Fatherlessness didefinisikan sebagai ketidakhadiran ayah secara fisik dan emosional dalam pengasuhan anak.
Definisi fatherlessness mengalami perluasan dari awalnya adalah kondisi anak-anak mengalami kehilangan ayah karena kematian atau perceraian, menjadi kondisi di mana anak-anak tidak atau kurang mendapatkan ekspresi dan respons kasih sayang positif dari ayahnya, walaupun sang ayah hadir secara fisik.
Politik “fatherhood” sering kali digaungkan untuk mengundang para ayah agar lebih banyak terlibat dalam pengasuhan. Termasuk pengasuhan anak usia dini.
Namun demikian, UU KIA tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan ayah menurut UU tersebut. Tanpa penjelasan detail, maka “ayah” dalam UU KIA bisa diasumsikan merujuk pada “ayah kandung” atau “ayah biologis”.
Definisi ini tentu saja mengabaikan kenyataan sosial, saat banyak anak yang hidup dengan ayah sambung, kakek, paman, ayah angkat atau laki-laki dewasa lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Diskusi tentang ketidakhadiran ayah pada konteks masyarakat barat dimulai di akhir abad ke 20 dan awal abad 21, seiring dengan meningkatnya angka orangtua tunggal terutama ibu tunggal.
Di Indonesia, seruan pelibatan ayah mulai menguat sejak tahun 2009, ketika Aliansi Laki-laki Baru dibentuk dan dengan kuat menyuarakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
Dorongan untuk melibatkan ayah dalam pengasuhan dilakukan oleh berbagai kalangan yang peduli pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, serta organisasi perempuan, baik yang progresif maupun konservatif.
BKKBN membuat Gerakan Ayah Teladan Indonesia dan Sekolah Bersama Ayah. Dari kelompok masyarakat, di antaranya ada Kelompok Ayah Peduli ASI, Fatherhood Forum, dan Lingkar Ayah Indonesia.
Tulisan ini merupakan pandangan kritis terhadap kampanye pelibatan ayah yang sekarang sedang marak di Indonesia.
Peran ayah dalam pengasuhan tentu saja penting dan kampanye untuk melibatkan ayah dalam pengasuhan mutlak diperlukan.
Hanya saja, kampanye pelibatan ayah yang tak jarang dibingkai menggunakan stereotip gender dan argument deficit (kekurangan penjelasan), memiliki risiko terhadap menguatnya stigma terhadap ibu tunggal dan anak-anak yang besar tanpa kehadiran seorang ayah.
Hal ini tentu perlu diubah. Kampanye pelibatan ayah perlu menggunakan pendekatan transformatif dan positif.
Gender dalam politik “fatherhood”
Stereotip gender tradisional yang menempatkan ayah sebagai pencari nafkah utama di luar rumah dan ibu sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak dipandang sebagai penyebab mengapa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini cenderung rendah.
Namun demikian, stereotip gender tradisional juga dimainkan dengan sangat kuat dalam politik fatherhood untuk menarik lebih banyak ayah ke dalam pengasuhan.
Dalam berbagai kampanye pelibatan ayah, peran ayah dan ibu dibedakan secara kaku mengikuti stereotip gender. Pesan utamanya adalah bahwa peran ayah tersebut tidak dapat digantikan, terutama oleh perempuan (ibu).
Misalnya, artikel yang berjudul “Upaya Pencegahan Fatherless pada Anak Usia Dini” (Ramadan, 2022) yang dimuat di laman Kemendikdasmen menyebutkan secara rigid bahwa saat berinteraksi dengan ibu, anak belajar “kelembutan, kontrol emosi dan kasih sayang.“
Sementara ketika berinteraksi dengan ayah, anak belajar “ketegasan, sifat maskulin, kebijaksanaan, keterampilan kinestesis dan kemampuan kognitif”.
Pertanyaan besarnya adalah apakah benar setiap ayah memiliki sifat dan karakteristik intrinsik yang tegas, maskulin, bijaksana, terampil, dan cerdas? Apakah kualitas-kualitas tersebut hanya dimiliki oleh laki-laki (ayah)?
Apakah tidak mungkin seorang ibu memiliki karakter yang tegas, berwibawa, bijaksana, terampil, dan cerdas?
Apakah benar seorang ayah tidak bisa mengajarkan kelembutan, kontrol emosi, dan kasih sayang kepada anaknya?
Politik “fatherhood” yang memainkan stereotip gender tradisional berpotensi melestarikan stereotip gender yang sering kali menyebabkan diskriminasi berbasis gender.
Hal ini lantas menjebak laki-laki atau ayah untuk kembali kepada peran stereotip gendernya sebagai pencari nafkah utama dan sulit mengekspresikan emosinya, harus terlihat selalu tegas dan kuat, sehingga tidak responsif secara emosional untuk anak-anak dan istrinya.
Argumen defisit dalam politik “fatherhood“
Dalam politik “fatherhood,” argumen defisit sering digunakan. Argumen defisit ini berisiko menimbulkan stigma negatif pada ibu tunggal dan anak-anaknya.
Argumen defisit ini berkaitan dengan konstruksi gender di masyarakat dan asumsi konservatif tentang struktur keluarga yang dominan, yaitu keluarga itu harus terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
Struktur keluarga di luar ini dianggap tidak normal, tidak lazim, dan juga “kurang.“
Dalam argument deficit, ketiadaan ayah sering kali dianggap kekurangan dan dikaitkan dengan kegagalan perkembangan anak, kenakalan anak, seksualitas dan identitas gender yang non-normatif, rendahnya prestasi akademik anak, dan rendahnya kualitas pribadi anak.
Dengan demikian, ayah ditempatkan sebagai pusat pengasuhan anak, yang tanpanya pengasuhan tidak akan berhasil. Menempatkan ayah sebagai pusat pengasuhan anak, sama dengan mengerdilkan peran ibu.
Argument deficit cenderung mengasumsikan bahwa sebaik apapun seorang ibu merawat, mengasuh, dan mendidik anak, tetap tidak cukup dan tidak akan menghasilkan generasi yang unggul.
Padahal tentu saja ini tidak benar. Banyak tokoh Indonesia dan dunia yang dibesarkan oleh ibu tunggal dengan atau tanpa ayah sambung.
Misalnya, Muhammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia, ayahnya meninggal dunia waktu beliau masih berusia 7 bulan (Imran, 1991).
Sukarjo Wiryopranoto, pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional, juga dibesarkan oleh ibu tunggal, ayahnya meninggal dunia waktu beliau berusia 3 tahun (Panyarikan, 1993).
Aktor Reza Rahadian bahkan tidak pernah melihat wajah ayahnya, ia dibesarkan oleh ibunya.
Contoh lain dari dunia internasional, misalnya Barrack Obama, Tom Hanks, Jeff Bezos (pemilik Amazon.com), dan Michael Phelps (peraih 23 medali emas Olimpiade Athena 2004).
Ibu tunggal membutuhkan banyak dukungan sosial. Alih-alih memberikan dukungan pada ibu tunggal, argument deficit politik “fatherhood“ dapat membawa konsekuensi psikologis yang serius.
Ibu tunggal mungkin mulai menginternalisasi perasaan bersalah, tidak mampu, dan tidak kompeten, yang menyebabkan peningkatan kecemasan tentang keterampilan perawatan dan pengasuhan anak mereka.
Argument deficit akan menambah tekanan kepada ibu tunggal untuk dapat memenuhi tuntutan sosial tentang ayah.
Stigma yang ditimbulkan oleh argument deficit tidak hanya berdampak pada ibu, tetapi juga pada anak-anaknya.
Penekanan tentang dampak negatif fatherlessness sangat mungkin diinternalisasi juga oleh anak-anak sehingga memengaruhi kepercayaan dirinya.
Argumen positif untuk transformasi sosial
Untuk meminimalkan konsekuensi yang tidak diinginkan dari kampanye pelibatan ayah dalam pengasuhan, berikut ini yang bisa dilakukan:
Narasi kampanye sebaiknya menggunakan narasi dampak positif keterlibatan pengasuhan untuk ayah dan keluarga, tidak hanya untuk “anak“ saja.
Misalnya, terlibat dalam pengasuhan anak dapat meningkatkan ikatan batin ayah dengan anak, meningkatkan keterampilan pengelolaan emosi pada ayah dan anak, meningkatkan kebahagiaan ibu, menurunkan stres ibu, meningkatkan kepuasan pernikahan, dan dampak positif lainnya terhadap relasi antara ayah-ibu, ayah-anak, ibu-anak.
Tonjolkan kualitas pribadi dan nilai-nilai yang perlu diajarkan pada anak, bukan soal jenis kelamin siapa yang mengajarkannya.
Dengan demikian, ibu tunggal dan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan tumbuh bersama ayahnya bisa terhindar dari stigma fatherlessness.
Memperluas definisi “ayah“. Mengingat kondisi keberagaman struktur keluarga di Indonesia, ayah juga bisa didefinisikan secara luas sebagai ayah sosio-kultural, bukan hanya ayah biologis.
Sehingga yang dimaksud dengan ayah di sini bisa juga kakek, paman, ayah sambung, ayah angkat, dan lainnya. Dengan demikian, definisi “ayah“ menjadi inklusif.
Mempromosikan konsep karakter dan peran gender yang fleksibel. Supaya tidak terjebak pada pelestarian stereotip gender tradisional yang kaku, sebaiknya kampanye tentang pelibatan ayah justru menekankan bahwa sama seperti ibu, ayah juga bisa memiliki kecerdasan emosi yang baik, bisa lembut dan penuh kasih sayang pada anak dan ibunya.
Bahwa ayah dan ibu bisa menjadi sosok yang memberikan contoh bahwa setiap individu, terlepas dari gendernya, bisa memiliki kelembutan sekaligus ketegasan, kasih sayang sekaligus disiplin, memiliki kecerdasan emosi dan juga cerdas secara kognitif.
Dengan pendekatan tersebut, kampanye pelibatan ayah menjadi lebih transformatif untuk terbentuknya pemahaman gender yang lebih setara.
Khususnya untuk anak laki-laki hal ini akan menanamkan nilai maskulinitas positif yang inklusif terhadap kualitas perawatan dan pengasuhan.
Bulan Juli adalah bulan untuk anak, pada tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Momen hari anak ini selalu diperingati dengan meriah dalam lingkup pemerintahan maupun kemasyarakatan.
Mari kita gunakan momentum perayaan hari anak, tidak sekadar perayaan, tapi menumbuhkan semangat dan komitmen dalam memperkuat keterlibatan aktif semua anggota keluarga untuk berkembang bersama menuju Keluarga Tangguh yang sehat fisik dan mental.
Keluarga Tangguh adalah fondasi pembangunan Sumber Daya Manusia unggul suatu negara.