Hari Sahabat Sedunia, Cerita Perempuan dan Laki-laki Bersahabat Tanpa Rasa Cinta

Hari Sahabat Sedunia diperingati setiap tanggal 30 Juli 2025. Pada dasarnya, ikatan persahabatan bisa terjalin dengan siapa saja, termasuk perempuan dengan laki-laki.
Sayangnya, banyak orang meragukan hubungan persahabatan perempuan dengan laki-laki. Mereka beranggapan, antara perempuan dan laki-laki tak mungkin bisa sekadar bersahabat.
Namun sebenarnya, mungkinkah laki-laki dan perempuan murni bersahabat tanpa rasa cinta?
Mungkinkah laki-laki dan perempuan bersahabat tanpa rasa cinta?
Sebuah studi yang diterbitkan oleh Scientific American menunjukkan, laki-laki dan perempuan seringkali memiliki persepsi yang berbeda terhadap makna “hanya teman”.
Dalam penelitian ini, 88 pasangan sahabat lawan jenis diminta menjawab secara jujur perasaan mereka terhadap satu sama lain. Hasilnya, laki-laki ternyata cenderung lebih tertarik secara romantis pada sahabat perempuannya dibandingkan sebaliknya.
“Laki-laki juga seringkali secara keliru mengira bahwa ketertarikan mereka bersifat timbal balik,” ujar Adrian F. Ward, psikolog sekaligus peneliti utama studi tersebut, dikutip dari Scientific American, Rabu (30/7/2025).
Menurut Ward, perbedaan pandangan ini bisa memicu kesalahpahaman dalam hubungan. Perempuan, umumnya benar-benar percaya bahwa hubungan mereka platonic, sementara laki-laki lebih mudah menaruh harapan romantis, meski hal itu tidak pernah diucapkan.
“Dua orang bisa mengalami hubungan yang sama, tapi memaknainya secara sangat berbeda,” tambahnya.
Namun demikian, faktanya masih ada persahabatan perempuan dan laki-laki yang murni tanpa diwarnai rasa cinta.
Kisah persahabatan laki-laki dan perempuan tanpa rasa cinta
Berawal dari mak comblang hingga bersahabat karib
Berbeda dari temuan riset tersebut, kisah Pertiwi (41) dan Rona (42) justru membuktikan bahwa hubungan lintas gender bisa murni tanpa bumbu asmara, bahkan bertahan lebih dari dua dekade.
Persahabatan Pertiwi dan Rona sudah terjalin sejak masa putih abu-abu. Meski berasal dari sekolah berbeda dan terpaut usia satu tahun, pertemuan keduanya terjadi berkat teman perempuannya yang sempat dekat dengan Rona.
“Teman aku mengenalkan aku dengan Rona karena kami tinggal satu komplek, hanya beda jalan. Kami juga beda sekolah, bahkan Rona itu satu tahun di atas aku usianya,” ujar perempuan yang akrab disapa Tiwi, saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (30/7/2025).
Dari awal yang sederhana, seperti titip-menitip barang hingga akhirnya main dan nonton bareng, keduanya semakin akrab.
Meski semakin akrab, keduanya tak pernah melangkah lebih jauh. Sebaliknya, persahabatan tersebut terbentuk secara alami seiring berjalannya waktu.
“Tiwi itu memang jadi penjembatan atau mak comblang saya dengan temannya, tapi gagal dan ya sudah akhirnya move on, tapi tetap berteman baik dengan Tiwi,” kata Rona, yang kini bekerja sebagai Legal Counsel.
Lokasi tempat tinggal yang berdekatan, membuat keduanya semakin sering bertemu, berbagi hobi membaca, hingga saling mendukung. Bahkan keluarga Tiwi maupun Rona juga saling akrab layaknya saudara sendiri.
Pernahkah muncul rasa suka di antara keduanya?
Setelah hampir 24 tahun bersahabat, pernahkah terbesit rasa suka atau ketertarikan antara satu sama lain?
Menjawab hal tersebut, Tiwi mengaku tidak pernah ada perasaan yang lebih dari teman.
Hal serupa juga disampaikan oleh Rona. Baginya, Tiwi seperti bagian dari keluarganya sendiri.
“Enggak pernah ada perasaan suka sih. Jadi benar-benar sahabatan yang kayak saudara sendiri. Bahkan saya lebih dekat dengan Tiwi dibandingkan saudara saya sendiri,” ungkap Rona.
Ia menegaskan, konsep pertemanan akan salah arah jika sudah mulai melibatkan perasaan yang tidak pada tempatnya.
Tak cuma itu, persahabatan pun bisa rusak apabila salah satu diantaranya memiliki rasa suka.
“Saya orangnya tidak suka drama ya. Kalau di pertemanan ada main perasaan, berarti udah salah sih konsep pertemanannya,” tegasnya.
Ia pun sempat ditanya oleh sang ibu terkait hubungannya dengan Tiwi. Namun, Rona meluruskan pada sang ibu bahwa hubungan mereka hanya teman baik dan Tiwi jadi sosok yang membantunya untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi.
Di sisi lain, Tiwi pun merasakan hal yang sama. Ia menuturkan bahwa sejak awal tidak ada ketertarikan khusus karena memang niatnya berteman.
“Dari awal memang enggak ada perasaan lebih dari teman sih, karena memang mindset dan tujuannya buat berteman baik. Saya juga suka nebeng pulang kampus sama dia, tapi bukan dalam artian yang lebih,” tuturnya.
Perempuan yang bekerja sebagai Karyawan Swasta ini menyebutkan, tidak ada perasaan malu atau jaim (jaga image) karena saking akrabnya persahabatan mereka.
“Terkadang kalau cewek naksir cowok itu ada rasa malu tampil bare face dan penginnya dress well kalau ketemu cowok. Tapi beda dengan kami. Kadang nyamper ke rumah masing-masing dalam keadaan belum mandi, tapi cuek aja, sama temen sendiri,” ceritanya sambil tertawa.
Tumbuh bersama, saling mendukung
Persahabatan mereka tidak hanya soal nongkrong dan berbagi cerita, tetapi juga soal tumbuh, mendukung satu sama lain, dan berbagi mimpi.
Ketika Rona terlambat masuk universitas negeri karena sempat tinggal kelas, Tiwi menjadi sosok penting yang mendukungnya untuk tetap mencoba.
“Tiwi dan kakaknya yang kasih dukungan ke saya supaya bisa masuk PTN, yaitu Universitas Indonesia,” ujar Rona.
Bahkan, Rona sempat sering meminjam buku milik Tiwi untuk belajar demi bisa masuk PTN.
Saat akhirnya berhasil masuk UI, mereka tetap menjaga hubungan, meski beda fakultas. Keduanya pun kerap kali pulang bersama.
Hubungan ini bukan hanya akrab secara emosional, tetapi juga mendalam dalam hal saling bantu dan bertumbuh bersama.
Menjaga batasan setelah punya pasangan
Salah satu ujian dalam persahabatan lintas gender adalah ketika masing-masing sudah memiliki pasangan.
Namun, bagi Tiwi dan Rona, hal ini bukan penghalang, melainkan justru memperkuat komitmen untuk menjaga batas.
“Sadar diri jadi kunci utama. Kalau Rona punya pacar, saya sadar diri untuk jaga perasaan pacarnya juga,” ujar Tiwi.
Ia menambahkan, Rona juga selalu terbuka mengenalkan pasangan kepada dirinya agar tidak ada kesalahpahaman. Rona membenarkan hal tersebut.
Sejak awal hubungan, Rona sudah memperkenalkan Tiwi kepada kekasihnya, yang kini menjadi istrinya. Hal ini tujuannya agar tidak adanya kesalahpahaman di antara sahabat dan juga istrinya.
“Kalau saya keluar sama Tiwi pun saya selalu ngabarin dan enggak pernah ada yang ditutup-tutupi. Pasangan saya juga percaya, karena dia tahu hubungan persahabatan kami seperti apa,” jelasnya.
Bahkan, ketika ayah Tiwi meninggal, istri Rona yang sedang sakit justru menyuruhnya untuk segera menemui Tiwi sebelum Rona bertugas keluar kota keesokan harinya.
Sang istri tak ingin Rona absen di momen ketika sahabatnya membutuhkan dukungannya.
“Itu bentuk kepercayaan dari istri saya bahwa hubungan kami murni persahabatan,” ujarnya.
Ilustrasi persahabatan platonik.
Menjaga persahabatan
Seiring bertambahnya usia dan kesibukan, waktu untuk bertemu memang makin jarang. Tapi keduanya punya cara untuk menjaga hubungan tetap hangat.
Beberapa cara yang mereka lakukan untuk merawat hubungan persahabatannya itu adalah saling bertukar kabar, menyempatkan waktu untuk berkomunikasi, atau bahkan meluangkan waktu untuk bertemu.
“Memang tantangannya ada di waktu untuk ketemu, tapi saya lebih percaya pada kualitas waktu saat bertemu dibandingkan kuantitas. Yang penting, keduanya saling hadir satu sama lain,” ujar Tiwi.
Begitu pula dengan Rona, yang tetap menyempatkan diri mengobrol dengan Tiwi lewat chat atau saling bertemu ketika mengunjungi rumah orangtua masing-masing.
Meski tak bisa bertemu sesering dulu, keduanya berkomitmen untuk selalu ‘hadir’ secara fisik dan emosional, tiap kali salah satu dari mereka ada masalah.
Persahabatan mereka sudah menjadi bagian dari perjalanan kehidupan satu sama lain.
Kisah Tiwi dan Rona membuktikan bahwa persahabatan antara perempuan dan laki-laki bisa terjadi tanpa cinta, selama keduanya punya niat yang jelas, komunikasi terbuka, serta batasan yang dijaga.
Di tengah banyaknya asumsi bahwa lawan jenis pasti sulit “hanya berteman”, cerita mereka memberi pelajaran bahwa persahabatan yang sehat bukan soal gender, tapi soal rasa saling percaya, ketulusan, dan kehadiran, apa pun bentuknya.