Studi: Perempuan 3 Kali Lebih Berisiko Kehilangan Pekerjaan daripada Laki-Laki

Ilustrasi wanita pekerja, Angka yang bikin kaget, Pekerjaan yang paling terancam, Bukan hanya pekerjaan level bawah, Kesenjangan gender makin melebar, Seruan untuk kebijakan yang lebih cerdas, Teknologi tidak netral—respon kita juga tidak boleh netral
Ilustrasi wanita pekerja

Seiring dengan kecerdasan buatan (AI) yang mengubah berbagai industri dan mengotomatiskan pekerjaan dengan sangat cepat, sebuah studi global baru menemukan fakta yang cukup mengkhawatirkan yakni perempuan tiga kali lebih berisiko kehilangan pekerjaan karena AI dibandingkan laki-laki.

Studi ini dilakukan oleh International Labour Organization (ILO), sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hasilnya menunjukkan bahwa gelombang otomatisasi ini tidak berdampak sama rata pada semua orang dan perempuanlah yang paling terkena dampaknya.

Angka yang bikin kaget

Di negara-negara maju, sekitar 10% pekerjaan yang dipegang perempuan berisiko tinggi digantikan AI. Sebaliknya, hanya 3,5% pekerjaan yang dipegang laki-laki masuk kategori sama. Jadi, ini bukan sekadar soal otomatisasi, tapi juga soal makin lebarnya kesenjangan gender di dunia kerja.

Pekerjaan yang paling terancam

Menurut ILO, AI paling berpotensi menggantikan pekerjaan administrasi dan tata usaha, seperti juru ketik, staf entri data, pembukuan, bahkan sebagian analis keuangan dan pengembang perangkat lunak. Pekerjaan ini umumnya bersifat berulang, berbasis aturan, dan sangat terdigitalisasi sehingga mudah diambil alih oleh AI generatif. aktanya, sebagian besar pekerjaan ini dipegang oleh perempuan.

“Pekerjaan administratif menghadapi risiko tertinggi dari semuanya,” tulis laporan ILO.

Ekonom senior Janine Berg menambahkan, bahwa kita perlu kejelasan dan konteks bukan sekadar hype soal AI agar negara bisa menyiapkan pasar tenaga kerja menuju masa depan yang lebih adil.”

Bukan hanya pekerjaan level bawah

Hal yang lebih mengkhawatirkan, AI kini mulai merambah ke bidang dengan keterampilan lebih tinggi. Pekerjaan di perangkat lunak, keuangan, dan media yang dulu dianggap aman dari otomatisasi sekarang ikut terancam karena semakin digital dan berbasis data.

Itu berarti, bahkan perempuan yang bekerja di posisi bergaji tinggi sekalipun tidak sepenuhnya aman dari dampak AI.

Kesenjangan gender makin melebar

Sebaliknya, pekerjaan yang relatif aman dari AI seperti petugas kebersihan, dokter gigi, pekerja seni, atau petugas sanitasi justru lebih jarang diisi oleh perempuan. Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan baru yang bisa memperlebar kesenjangan dalam hal gaji, kesempatan kerja, dan jenjang karier.

Marek Troszyriski, salah satu penulis studi ILO, menekankan pentingnya temuan ini.

“Alat ini membantu mengidentifikasi di mana GenAI akan memberi dampak paling besar, sehingga negara bisa bersiap dan melindungi pekerja,” kata dia.

Seruan untuk kebijakan yang lebih cerdas

ILO mendesak pemerintah, pengusaha, dan organisasi pekerja untuk bertindak sekarang juga. Tujuannya adalah memastikan AI benar-benar meningkatkan kualitas pekerjaan dan produktivitas tanpa meninggalkan perempuan.

Teknologi tidak netral—respon kita juga tidak boleh netral

Pesan inti dari studi ini jelas AI tidak bekerja di ruang hampa. AI hanya mencerminkan dan memperbesar struktur sosial yang sudah ada termasuk bias gender.

Jika tidak segera ditangani, AI bisa memperdalam ketidaksetaraan di dunia kerja. Namun, dengan kebijakan yang inklusif dan perencanaan yang matang, teknologi justru bisa membantu menciptakan masa depan kerja yang lebih adil.

Intinya revolusi AI sudah ada di depan mata, dan ia sedang mengubah cara kita bekerja. Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkannya memperlebar jurang gender, atau justru memanfaatkannya untuk membangun dunia kerja yang lebih inklusif? Jawabannya bergantung pada langkah yang kita ambil mulai sekarang.