Dimarahi Atasan Demi Kebaikan? Benarkah Efektif atau Cuma Alibi?

Di banyak kantor, kalimat saya marah demi kebaikan kamu sudah seperti mantra. Atasan meledak, membentak, bahkan mempermalukan bawahan di depan tim, lalu menutup dengan dalih itu semua dilakukan agar kinerja meningkat. Sekilas masuk akal bukankah teguran keras bisa bikin orang sadar?
Namun, riset justru menunjukkan sebaliknya. Marah-marah bukan hanya tidak efektif, tapi juga bisa merusak motivasi, menurunkan produktivitas, hingga membuat tim bekerja dalam ketakutan. Menurut profesor kepemimpinan dari Harvard Business School, Amy C. Edmondson, yang terpenting dalam kinerja tim bukan rasa takut, melainkan psychological safety atau rasa aman psikologis.
Edmondson mendefinisikan psychological safety sebagai keyakinan bahwa lingkungan kerja aman untuk mengambil risiko dalam hubungan antarpribadi. Artinya, anggota tim merasa aman untuk berbicara, bertanya, bahkan mengakui kesalahan tanpa takut dipermalukan.
Konsep ini penting karena perusahaan yang sukses biasanya penuh percakapan jujur. Tim yang merasa aman lebih berani menyampaikan ide, mengungkap masalah sejak dini, dan belajar lebih cepat. Sebaliknya, di budaya penuh bentakan, bawahan memilih diam—takut salah ucap, takut disalahkan. Hasilnya? Inovasi mandek, masalah menumpuk.
Tegas vs Tukang Marah: Garis Tipis yang Sering Disalahpahami
Banyak atasan mengira marah adalah bentuk ketegasan. Padahal keduanya berbeda:
- Tegas: fokus pada perilaku dan proses, bukan pribadi. Umpan balik jelas, berbasis data, dan disampaikan dengan tujuan perbaikan.
- Tukang marah: menyerang personal, mempermalukan, atau menggunakan nada tinggi tanpa solusi.
Edmondson menekankan, ketika marah menimbulkan interpersonal fear, maka psychological safety hancur. Tim hanya belajar menghindari masalah, bukan menyelesaikannya.
Abusive Supervision Itu Kontraproduktif
Sejumlah penelitian mendukung hal ini abusive supervision itu kontraproduktif. Mackey dan rekan (2017) dalam meta-analisisnya menemukan bahwa perilaku atasan yang abusif berdampak pada burnout, niat resign, hingga turunnya performa.
Ulasan lebih baru di 2021 dan 2022 menegaskan, dampak negatif dari supervisi abusif jauh lebih dominan daripada efek positifnya. Bahkan riset terbaru tahun 2025 pada sektor layanan membuktikan bahwa persepsi bawahan terhadap atasan tukang marah membuat kualitas layanan merosot.
Artinya, marah demi kebaikan seringkali hanyalah alibi, sementara hasilnya justru merugikan perusahaan sendiri.
Mengapa “Dimarahi Demi Kebaikan” Sering Gagal?
Secara psikologis, otak manusia merespons marah dengan defensif. Saat dimarahi, fokus bawahan bukan lagi pada isi pesan, melainkan pada bagaimana cara melindungi diri. Alih-alih belajar, mereka hanya ingin menghindari hukuman.
Penelitian tentang umpan balik juga menemukan bahwa karyawan lebih menerima kritik bila diarahkan pada tindakan masa depan (feedforward), bukan sekadar mengorek kesalahan masa lalu. Inilah yang membuat marah demi kebaikan sering gagal lantaran pesannya tidak sampai karena cara penyampaiannya salah.
Ciri-Ciri Teguran yang Sehat
Supaya jelas, berikut perbedaan teguran yang sehat dengan marah yang merusak:
- Spesifik ke perilaku, bukan menyerang pribadi.
- Disampaikan privat, bukan di depan umum.
- Diberi dengan waktu yang tepat, tidak meledak-ledak.
- Mengarah ke solusi ke depan, bukan hanya menyalahkan masa lalu.
- Disertai dukungan atau ajakan berdialog, bukan monolog sepihak.
Dengan begitu, bawahan bisa menangkap pesan, bukan trauma pada caranya.
Alarm Supervisi Abusif
Ada beberapa tanda kalau “marah demi kebaikan” sudah melewati batas sehat:
- Menghina pribadi, bukan perilaku.
- Membentak di depan umum.
- Mengancam tanpa memberi standar jelas.
- Mengabaikan data saat bawahan mencoba klarifikasi.
- Melarang bertanya atau mengakui kesalahan.
Jika tanda-tanda ini muncul terus-menerus, artinya bukan lagi teguran membangun, melainkan abusive supervision.