Studi: Orang yang Gampang Baperan, Lebih Rentan Cemas dan Depresi

Ilustrasi orang baperan
Ilustrasi orang baperan

Bagi orang yang sering disebut drama queen atau baperan, hidup mungkin terasa berbeda dari kebanyakan orang. Di tengah dunia yang penuh dengan hal negatif hingga membuat sebagian orang jadi seperti ‘batu’ yang tidak merasakan apa-apa, ada juga orang-orang yang justru merasakan segalanya baik secara pribadi, emosional, maupun fisik.

Dalam istilah psikologi, orang-orang seperti itu dikenal sebagai Highly Sensitive Person (HSP) atau orang dengan sensitivitas tinggi. Menurut para psikolog, sekitar 1 dari 3 orang termasuk ke dalam kategori ini.

Dalam penelitian pertama yang melibatkan lebih dari 12.000 partisipan, para ahli di Inggris menemukan bahwa orang dengan sensitivitas tinggi lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi, dibandingkan dengan orang yang kurang sensitif.

“Kami menemukan adanya hubungan positif dan cukup kuat antara sensitivitas dengan berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, PTSD, agorafobia, dan gangguan kepribadian menghindar,” ujar, psikoterapis dari Queen Mary University of London sekaligus penulis studi tersebut, Tom Falkenstein seperti dilansir dari laman Times of India.

Ia menambahkan bahwa temuan ini menunjukkan sensitivitas seharusnya lebih dipertimbangkan dalam praktik klinis, baik untuk membantu diagnosis maupun meningkatkan efektivitas pengobatan. Orang dengan sensitivitas tinggi justru bisa lebih responsif terhadap beberapa intervensi psikologis dibandingkan mereka yang kurang sensitif. Sebab itu, Falkenstein merekomendasikan agar faktor sensitivitas dipertimbangkan saat membuat rencana perawatan kesehatan mental.

Apa itu Highly Sensitive Person?

Istilah HSP pertama kali diperkenalkan pada pertengahan 1990-an oleh psikolog Elaine Aron melalui bukunya The Highly Sensitive Person. Secara klinis, HSP didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki sensitivitas lebih tinggi pada sistem saraf pusat terhadap rangsangan fisik, emosional, atau sosial.

Aron berpendapat bahwa orang dengan sensitivitas tinggi mungkin memiliki indra kewaspadaan yang lebih tajam kemungkinan akibat faktor genetic sehingga mampu membaca emosi orang lain dengan tingkat kepekaan yang luar biasa.

Penelitian lain juga menemukan bahwa orang HSP mungkin memiliki kadar neurotransmitter tertentu seperti dopamin yang lebih tinggi, sehingga membuat mereka lebih responsif terhadap rangsangan. Sejumlah tokoh terkenal, seperti Nicole Kidman, Miranda Hart, dan Lexi Jones, bahkan pernah secara terbuka mengaku sebagai HSP.

Apa kata hasil penelitian?

Para ilmuwan menganalisis 33 studi dengan total 12.697 peserta dewasa dan anak-anak di atas usia 12 tahun, dengan rata-rata usia partisipan 25 tahun. Hasilnya, orang dengan sensitivitas tinggi lebih berisiko mengalami depresi dan kecemasan.

Dalam laporan yang dimuat di jurnal Clinical Psychological Science, para peneliti menyebutkan bahwa sensitivitas berkorelasi dengan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk agorafobia dan gangguan kepribadian menghindar.

Salah satu alasannya adalah karena kedalaman cara mereka memproses informasi, atau kecenderungan untuk mengalami overstimulasi. Misalnya, mereka cenderung terlalu banyak khawatir tentang masa depan atau membayangkan berbagai kemungkinan buruk dalam suatu situasi.

Menurut Profesor Michael Pluess, pakar psikologi perkembangan dari University of Surrey dan Queen Mary University of London sekaligus penulis bersama studi ini, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa orang sensitif lebih terpengaruh oleh pengalamanbaik yang negatif maupun positif. Karena itu, kualitas lingkungan sekitar sangat berpengaruh pada kesejahteraan mereka.

“Penting untuk diingat bahwa orang dengan sensitivitas tinggi juga lebih responsif terhadap pengalaman positif, termasuk dalam hal pengobatan psikologis,” jelas Pluess.