Studi Harvard: Profesi Ini Risiko Meninggal Akibat Alzheimer Lebih Rendah

Ilustrasi kerja di Korea Selatan
Ilustrasi kerja di Korea Selatan

Sebuah laporan dari Harvard Health Publishing menyoroti hubungan mengejutkan antara jenis pekerjaan tertentu dengan risiko kematian akibat penyakit Alzheimer (AD) yang lebih rendah. Menurut penelitian yang ditinjau oleh Dr. Robert H. Shmerling, sopir taksi dan sopir ambulans tercatat memiliki angka kematian terkait Alzheimer yang jauh lebih rendah dibanding banyak profesi lain.

Para ilmuwan percaya, tuntutan mental dalam melakukan navigasi secara real-time pada pekerjaan ini bisa memperkuat hipokampus, bagian otak yang berperan penting dalam memori dan kesadaran ruang, sekaligus salah satu area pertama yang terdampak Alzheimer. Jika temuan ini benar, bisa jadi ini membuka jalan baru untuk memahami sekaligus mencegah penyakit tersebut.

Penelitian sebelumnya pada sopir taksi di London menunjukkan adanya pembesaran pada area tertentu di hipokampus, bagian otak yang mengatur memori spasial. Padahal, area ini termasuk yang paling rentan terhadap kerusakan akibat Alzheimer.

Para peneliti menduga, aktivitas yang melibatkan pemetaan jalan, perencanaan rute, serta pengambilan keputusan cepat dalam pekerjaan sopir taksi maupun ambulans membantu menjaga kesehatan hipokampus. Pekerjaan ini menuntut sopir untuk memproses informasi baru dengan cepat, beradaptasi dengan kondisi lalu lintas, dan menemukan rute paling efisien di area yang belum dikenal.

Dalam jangka panjang, ‘olahraga mental’ ini bisa memperkuat koneksi saraf di otak, sehingga berpotensi memperlambat atau bahkan mencegah kerusakan yang terkait Alzheimer.

Studi ini menganalisis hampir 9 juta sertifikat kematian, dengan fokus pada 443 jenis pekerjaan. Setelah menyesuaikan dengan rata-rata usia kematian, hasilnya menunjukkan perbedaan mencolok pada angka kematian terkait Alzheimer.

  • Sopir taksi: 0,91%
  • Sopir ambulans: 1,03%

Angka ini lebih dari 40% lebih rendah dibanding rata-rata populasi umum, dan jauh lebih rendah dibanding 1,82% pada CEO. Sebaliknya, pilot (2,34%) dan kapten kapal (2,12%) justru memiliki angka tertinggi.

Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat navigasi aktif yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan bisa menjadi faktor penting, meski manfaat ini tidak terlihat pada jenis demensia lainnya.

Kenapa pekerjaan navigasi lain tidak sama protektifnya?

Sekilas, pekerjaan seperti pilot pesawat, kapten kapal, atau sopir bus terlihat sama menuntut navigasi. Namun para peneliti menjelaskan, pekerjaan ini umumnya memiliki jalur tetap atau sangat bergantung pada sistem otomatis.

  • Pilot menggunakan autopilot dan arahan menara kontrol.
  • Kapten kapal mengikuti jalur laut yang sudah ditentukan.
  • Sopir bus biasanya hanya mengulang rute yang sama setiap hari.

Artinya, tantangan kognitifnya lebih terbatas dan kurang bervariasi dibanding sopir taksi atau ambulans yang harus terus beradaptasi dengan kondisi jalan, tujuan penumpang, dan situasi darurat. Fleksibilitas dalam memecahkan masalah inilah yang diduga menjadi kunci manfaat bagi otak.

Apakah aktivitas sehari-hari bisa memberi efek yang sama?

Para ahli percaya, manfaat serupa mungkin bisa diperoleh dari aktivitas di luar pekerjaan profesional. Aktivitas yang menuntut penalaran spasial dan keterampilan navigasi kompleks berpotensi membantu menjaga fungsi hipokampus.

Contohnya:

  • Orienteering, geocaching, atau hiking di medan baru dengan peta dan kompas.
  • Aktivitas indoor seperti menyusun puzzle, menyelesaikan Rubik’s Cube, atau bermain video game berbasis ruang seperti Tetris dan Minecraft.

Namun, para peneliti menekankan bahwa belum ada bukti pasti bahwa aktivitas ini benar-benar menurunkan risiko Alzheimer seperti yang terlihat pada profesi sopir taksi dan ambulans. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan.

Meski penelitian ini belum membuktikan secara pasti bahwa menjadi sopir taksi atau ambulans bisa mencegah Alzheimer, temuan ini memperkuat teori bahwa aktivitas mental yang menantang dan menuntut kemampuan spasial dapat melindungi kesehatan otak.

Para ahli Harvard menyarankan, bagi siapa pun yang ingin menurunkan risiko Alzheimer, sebaiknya mengombinasikan aktivitas yang merangsang otak dengan gaya hidup sehat lainnya, seperti:

  • rutin berolahraga,
  • makan makanan bergizi,
  • menjaga kesehatan jantung,
  • tetap aktif secara sosial,
  • serta memiliki kualitas tidur yang baik.

Dengan menggabungkan berbagai strategi ini, peluang untuk terhindar dari Alzheimer maupun bentuk demensia lain akan jauh lebih besar.