Orang yang Sangat Sensitif Rentan Alami Masalah Mental

highly sensitive person, kepribadian sangat sensitif, kecemasan dan depresi, Orang yang Sangat Sensitif Rentan Alami Masalah Mental

Pernahkah teman atau orangtua memberi tahu bahwa kamu "terlalu sensitif" atau "tidak boleh terlalu banyak berpikir"? Ironisnya, komentar seperti itu sering kali datang dari orang-orang yang menurut kita justru kurang peka. 

Jika iya, bisa jadi kamu termasuk orang dengan kepribadian Highly Sensitive Person (HSP) alias orang dengan tingkat sensitivitas yang tinggi.

Pada dasarnya, setiap orang punya sisi sensitif. Namun, HSP memiliki sensitivitas pada level yang berbeda. Sayangnya, sifat ini kerap diberi label negatif sebagai "terlalu sensitif". Padahal, menurut para ahli, sensitivitas adalah karakter kepribadian yang bisa menjadi kekuatan sekaligus tantangan.

Beberapa ciri umum HSP, misalnya menghindari film atau serial penuh kekerasan karena terasa terlalu intens dan membuat gelisah, atau mudah tersentuh oleh keindahan, baik dalam seni, alam, atau interaksi antarmanusia.

Istilah "Highly Sensitive Person" sendiri pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Elaine Aron dan Arthur Aron pada pertengahan 1990-an. Elaine kemudian menulis buku The Highly Sensitive Person (1996), yang menjadi tonggak populer dalam memahami konsep ini.

Orang sensitif lebih beresiko depresi

Para ahli menyebut bahwa kepribadian seseorang berkaitan dengan risiko depresi. Sebuah meta-analisis berskala besar terhadap 33 studi menemukan bahwa individu HSP lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, mulai dari depresi, PTSD, hingga gangguan kepribadian menghindar. 

Namun, sensitivitas bukan hanya tentang kerentanan, tapi juga membuat seseorang lebih reseptif terhadap pengalaman positif, termasuk terapi.

Tom Falkenstein, psikoterapis dan peneliti PhD di Queen Mary University of London, mengatakan bahwa ini merupakan meta-analisis pertama tentang topik ini.

"Kami menemukan korelasi positif dan sedang antara sensitivitas dan berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma, agorafobia, dan gangguan kepribadian menghindar," kata Falkenstein.

Laporan hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Clinical Psychological Science, Agustus 2025.

Sekitar 31 persen dari populasi umum dianggap sangat sensitif. Sisi positifnya, orang dengan kepribadian ini lebih mungkin merespons beberapa intervensi psikologis dengan lebih baik. 

"Oleh karena itu, sensitivitas dokter dan praktisi perlu dipertimbangkan ketika menyusun rencana perawatan," katanya.

Penelitian lain yang dipublikasikan di Psychology and Aging mengungkapkan, keterbukaan untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan banyak orang berdampak positif dalam mengelola kesehatan mental. 

Orang yang merasa lebih ekstrovert mengindikasikan pengendalian stres sehari-hari yang lebih baik.

Dengan sekitar sepertiga populasi dunia tergolong sangat sensitif, temuan ini membuka perspektif baru. 

Alih-alih melihat sensitivitas sebagai kelemahan, sifat ini justru bisa menjadi pintu masuk menuju keseimbangan hidup, selama ditopang oleh lingkungan yang tepat, serta pendekatan perawatan yang disesuaikan, seperti mindfulness dan relaksasi.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!