Jalan TB Simatupang: Cerita di Balik Kemacetan

Kemacetan yang Menjadi Sahabat Sehari-hari di Jalan TB Simatupang
JAKARTA, KOMPAS.com - Bagi para pengendara yang rutin melintasi Jalan TB Simatupang di Jakarta Selatan, kemacetan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Meski jalan ini memiliki lebar sekitar 4 hingga 5 lajur, kenyataannya ia seringkali tidak mampu menampung volume kendaraan yang padat.
Perjalanan sepanjang 10,3 kilometer yang seharusnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 15 menit, bisa terhambat menjadi lebih dari satu jam, terutama saat jam pulang kerja.
Riki (29) sempatkan merokok di tengah kepadatan lalu lintas TB Simatupang
Antrean kendaraan pun mengular dari arah Simpang Ragunan, melintasi kawasan Taman Kebagusan, hingga mendekati gedung perkantoran Cibis Park.
jam padat, laju kendaraan hanya berkisar antara 3 hingga 16 kilometer per jam.
Namun, di balik nama jalan yang kini identik dengan kemacetan ibukota, tersimpan cerita mengenai sosok besar yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat.
Arus Lalu Lintas TB Simatupang terpantau cukup lancar
Banyak pengguna jalan yang melintas setiap hari tak benar-benar mengenal siapa T.B.
Simatupang, meskipun nama ini sarat makna dan sejarah.
TB Simatupang: Tokoh Penting dalam Perjuangan Bangsa
Tahi Bonar Simatupang, nama lengkapnya, lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920.
Kemacetan parah di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Rabu (3/4/2024) petang.
Ia dikenal sebagai tokoh militer, pemikir, dan pelayan gereja yang memainkan peran penting pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Sebagai perwira dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TB Simatupang aktif terlibat dalam perjuangan Revolusi Nasional.
Setelah wafatnya Jenderal Sudirman, ia dipercaya menjabat sebagai Kepala Staf Gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia pada tahun 1950.
Lebih jauh lagi, ia merupakan bagian dari delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda—peristiwa penting yang menandai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Menariknya, pada usia 39 tahun, ia memilih pensiun dini dari dunia militer.
TB Simatupang
Namun, keputusan tersebut tidak menghentikan pengabdiannya bagi bangsa.
Justru, setelah pensiun, TB Simatupang semakin dikenal sebagai seorang pemikir dan tokoh gereja yang dihormati.
Melanjutkan Perjuangan Melalui Pelayanan
Setelah pensiun dari militer, TB Simatupang melanjutkan hidupnya dengan jalan pelayanan.
Ia aktif di berbagai organisasi gereja, termasuk menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dewan Gereja-gereja se-Asia, dan Dewan Gereja-gereja Sedunia.
Namun lebih dari sekadar jabatan, ia dikenal sebagai sosok yang jujur, rendah hati, dan memiliki kedalaman refleksi.
Dalam bukunya yang terkenal, Iman Kristen dan Pancasila, TB Simatupang menyampaikan kritik tajam terhadap dua ideologi besar dunia: komunisme dan kapitalisme-liberalisme.
Ia berpendapat bahwa kedua sistem tersebut gagal menyediakan jalur pembangunan yang manusiawi.
“Yang terpenting ialah menyusun interpretasi yang lebih tepat mengenai perjuangan kita,” tulisnya, dikutip dari alkitab.or.id (12/08/2025).
Warisan yang Terabaikan di Tengah Kemacetan
Nama TB Simatupang bukan hanya sekadar nama jalan, melainkan representasi semangat Indonesia yang berpikir dan beriman.
Sayangnya, warisan nilai dan pemikirannya kini kerap terabaikan, terkubur di tengah kemacetan, klakson, dan deru kendaraan yang terus melintas di jalan yang mengabadikan namanya.
Kisah TB Simatupang seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa di balik setiap jalan yang kita lalui, terdapat cerita dan makna yang lebih dalam.
Dengan mengenali sosok-sosok bersejarah seperti TB Simatupang, kita dapat menghargai perjuangan dan pengabdian yang telah mengantarkan bangsa kita ke hari ini.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!