Serial Terbaru Netflix, 'Aema’, Bawa Nostalgia Film Erotis Korea di Era 1980-an

masa rezim militer Chun Doo-hwan di Korea, pemerintah menerapkan kebijakan yang disebut ‘3S Policy’, yakni screen, sports, dan sex. Kebijakan ini bertujuan menenangkan publik dan mengalihkan perhatian dari politik. Sebagai gantinya, tercipta kondisi yang mendorong ledakan pesat industri film erotis.
Salah satu film yang menjadi hit di masa itu yakni Madame Aema. Film rilisan 1982 itu secara luas dianggap sebagai awal dari ledakan sinema erotis Korea di era 1980-an. Kini Netflix mereimajinasi film ini untuk abad ke-21 lewat serial Aema.
Drama Netflix Aema, yang akan dirilis pada Jumat (23/8), menceritakan perjalanan penuh gejolak bintang top Hee-ran (Lee Ha-nee) dan aktor pendatang baru Joo-ae (Bang Hyo-rin). Keduanya dengan berani menghadapi realitas kelam di balik gemerlap sorotan pada masa itu dalam proses mewujudkan film Madame Aema.
“Pada awal 1980-an, film-film erotis secara aktif didorong dan diproduksi sebagai bagian dari kebijakan. Ironisnya, pada saat yang sama, ada sensor ketat dan pemotongan berlebihan sehingga hampir tidak ada kebebasan berekspresi,” kata sutradara Lee Hae-young dalam konferensi pers drama tersebut Senin (18/8), dikutip The Korea Times.
Film Madame Aema pernah dipuji sebagai fenomena box office, tapi kemudian banyak dikritik karena objektifikasi seksual terhadap karakter perempuan. Hae-young mengatakan, dengan meninjau kembali ironi ini dari perspektif masa kini, ia kemudian menafsirkannya kembali di 2025 dan mengeksplorasi maknanya dengan cara yang menghadirkan pesan baru.
Alih-alih hanya berfokus pada film itu sendiri, serial ini menyoroti semangat zaman yang penuh gejolak akibat kontrol otoriter, sekaligus menggambarkan solidaritas lembut antardua perempuan yang menjadi pusat kisah. Menurut sang sutradara, kata ‘Aema’ mewakili lebih daripada sekadar tokoh utama film.
“Bagi saya, Aema tidak terbatas pada karakter utama itu saja. Saya ingin menjadikannya sebagai sesuatu yang lebih luas, sebuah ikon yang mencerminkan hasrat masyarakat era 1980-an. Menjalani kehidupan sebagai Aema saat itu berarti menghadapi prasangka, kesalahpahaman, dan kekerasan, sambil berjuang untuk bertahan hidup. Cerita yang saya ciptakan ini dimaksudkan untuk mendukung dan menghormati mereka yang bertahan dan tetap kuat di masa itu,” ungkapnya.
Kisah Hubungan Dua Aktris
Aktris Lee Ha-nee, yang memerankan karakter Hee-ran, menggambarkan perannya sebagai aktris papan atas pada masanya. Ia merupakan seorang perempuan yang bangga dan percaya diri dan dengan lantang menyatakan tidak akan pernah lagi melakukan adegan telanjang serta berniat untuk mendefinisikan ulang dirinya di era 1980-an.
Namun setelah berperan sebagai Erika, tokoh pendukung dalam film erotis, ia dipaksa tampil telanjang dan terseret dalam situasi penuh kekerasan. Akibatnya, ia harus berjuang untuk menemukan kembali dirinya baik sebagai aktris maupun pribadi.
“Saya tentu saja tidak bisa mengatakan pernah sepenuhnya mengalami sistem lama itu, tetapi saya sempat menyaksikan fase akhirnya. Saya sering merasa sayang sekali bahwa perempuan sepenuhnya dikonsumsi sebagai objek hasrat dalam industri tersebut. Justru karena itu, saya bisa mendekati proyek ini dengan lebih berani,” katanya.
Ha-nee mengaku proyek ini memberinya kesempatan untuk menafsirkan hal-hal dengan lebih bebas. “Menyadari bahwa zaman benar-benar telah berubah, dan kini kita hidup di era saat kita bisa meninjau kembali 1980-an dari perspektif baru, rasanya begitu menyegarkan,” imbuhnya.
Sementara itu, aktris Bang Hyo-rin memerankan Joo-ae, seorang penari tap di klub malam yang mengagumi bintang besar Hee-ran. Ia mengikuti audisi untuk Madame Aema dan akhirnya mendapatkan peran utama. Ia malah memulai perjalanan penuh rasa sakit, tapi transformatif dalam pertumbuhannya sebagai aktris.
Nostalgia Industri Film Korea Era 80-An
Demi menghadirkan kisah Aema, sutradara Hae-young dihadapkan pada tantangan merekonstruksi Chungmuro, pusat industri film Korea era 1980-an. “Semakin gemerlap suara dan gambar yang muncul di permukaan, semakin jelas pula kekerasan dari zaman barbar itu tersampaikan sebagai pesan,” katanya.
Ia menambahkan, meskipun drama ini berlatar 1980-an, penonton akan menemukan banyak kesamaan mengejutkan dengan masa kini.
“Beberapa penyakit sosial masih membandel hingga hari ini. Namun, pada saat yang sama, kekerasan dan kekejaman yang digambarkan dalam Aema kini diakui dan ditantang oleh masyarakat itu sendiri. Kita sedang berada dalam proses untuk sadar dan memperbaiki kesalahan tersebut. Bagi saya, ini menunjukkan sebuah visi penuh harapan,” ujarnya.(dwi)