Pernyataan Sri Mulyani Samakan Pajak dengan Zakat, MUI Beri Tanggapan Tegas

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menganalogikan pajak dengan zakat dan wakaf kembali menuai sorotan publik. Pasalnya, analogi itu dianggap menyentuh ranah sensitif keagamaan, terutama bagi umat Islam.

Sri Mulyani menyampaikan pernyataan tersebut dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 di Jakarta, Rabu, 13 Agustus 2025. Ia menjelaskan bahwa pajak melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada dasarnya kembali untuk kepentingan rakyat, sama halnya dengan zakat maupun wakaf.

“Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, wakaf dan ada yang melalui pajak. Pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” ujar Sri Mulyani.

Menkeu mencontohkan sejumlah program bantuan yang bersumber dari APBN, mulai dari perlindungan sosial bagi 10 juta keluarga miskin melalui Program Keluarga Harapan (PKH), bansos sembako untuk 18,2 juta penerima, subsidi permodalan bagi UMKM, hingga layanan kesehatan gratis dan pembangunan infrastruktur pendidikan serta energi.

Namun, pernyataan itu mengundang beragam tanggapan, salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pandangan MUI: Pajak dan Zakat Tidak Sama

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, K. H. Abdul Muiz, menilai analogi Sri Mulyani memang bisa dipahami secara bahasa, tetapi tetap berisiko menimbulkan salah tafsir di masyarakat.

“Begini, secara bahasa sebenarnya Bu Sri Mulyani itu tidak salah-salah amat. Saya menyebutnya begitu. Jadi dalam grametika bahasa Arab itu kita kenal dengan tasybih. Tasybih itu menyerupakan sesuatu dengan suatu yang lain. Zaidun kal asad. Zaid seperti macan. Dalam hal apanya? Nah, dalam keganasannya. Ya kan? Berarti itu zahid bukan macan. Macan pun bukan Zaid,” jelas Abdul Muiz dikutip tvOne, Rabu 20 Agustus 2025.

Menurutnya, masalah muncul karena publik butuh penjelasan lebih rinci. “Artinya ketika Ibu Sri Mulyan itu mengatakan bahwa pajak itu sama dengan zakat dalam hal apa saja? Nah itu perlu dirinci karena memang berbeda, satu entitas yang berbeda. Zakat dan pajak itu dua hal yang berbeda,” tegasnya.

Abdul Muiz mengingatkan bahwa zakat adalah kewajiban khusus bagi umat Islam dengan aturan dan penerima tertentu, sementara pajak berlaku umum bagi seluruh warga negara.

“Kalau pajak itu kewajiban yang bersifat umum, diterapkan oleh pemerintah, berlaku kepada siapa saja muslim atau nonmuslim. Tapi kalau zakat adalah harta tertentu diambil dari kelompok tertentu yang sudah sampai pada nisab, ukuran tertentu ya, dan diberikan pada orang-orang tertentu. Zakat itu khusus orang Islam. Sementara pajak itu muslim atau nonmuslim bisa kena wajib pajak,” paparnya.

Persamaan dan Perbedaan Manfaat

Meski berbeda secara prinsip, Abdul Muiz tidak menutup mata bahwa manfaat pajak dan zakat bisa bersinggungan.

“Dalam beberapa hal manfaat pajak itu punya kemiripan dengan manfaat zakat. Misalnya manfaat dari pajak itu diberikan kepada kepentingan publik, kemaslahatan umat Islam atau kemaslahatan publik. Sama halnya dengan zakat, itu juga boleh diberikan untuk kepentingan publik, misalnya tempat-tempat yang memang butuh perbaikan. Jembatan, satu desa ke desa lain, itu boleh diambilkan dari dana zakat,” jelasnya.

Namun, ia kembali menekankan bahwa zakat memiliki aturan tegas mengenai penerima yang disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 60.

“Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu fuqara, masakin, amil, muallaf, dan seterusnya. Tapi kalau pajak itu berlaku umum kepada siapapun,” ujar Abdul Muiz.

Sensitivitas Publik

Pernyataan Sri Mulyani yang muncul pada beberapa hari lalu itu, menurut Abdul Muiz, makin memperbesar sorotan karena masyarakat tengah memperingati momen kebangsaan.

“Kita perlu mempertimbangkan sensitivitas publik dalam hal ini umat Islam atau rakyat Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya.

Dengan demikian, MUI menegaskan agar pejabat publik lebih berhati-hati dalam membuat analogi yang berkaitan dengan ajaran agama agar tidak menimbulkan salah persepsi di masyarakat.