Tips Mendengar Curhat Tanpa Menyakiti dari Psikolog

toxic positivity adalah, cara merespons curhat, Tips Mendengar Curhat Tanpa Menyakiti dari Psikolog

“Yuk bisa yuk!” atau “Kamu harus semangat dong.” Kalimat seperti ini terdengar positif, tapi dalam situasi tertentu justru bisa terasa menyakitkan.

Alih-alih membuat lega, kata-kata motivasi yang terlalu cepat dilontarkan bisa membuat seseorang merasa tidak dimengerti. Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, tekanan untuk selalu terlihat kuat dan berpikir positif, tanpa ruang untuk jujur pada emosi sendiri.

Menurut Psikolog UAD Dr. Riana Mashar, S.Psi., M.Si., toxic positivity bisa merusak kualitas komunikasi dan memperburuk kondisi emosional seseorang.

“Sering kali, yang dibutuhkan bukan solusi atau nasihat, tapi kehadiran dan pengakuan bahwa emosi mereka valid,” ujarnya kepada Kompas.com.

Kenapa harus menghindari toxic positivity?

Tujuan dari kalimat-kalimat positif sebenarnya baik: ingin menyemangati. Tapi ketika disampaikan tanpa memahami konteks atau perasaan si lawan bicara, pesan itu bisa terdengar seperti penyangkalan.

“Kamu harusnya bersyukur” atau “Orang lain ada yang lebih susah, lho” mungkin terdengar bijak, tapi di momen yang salah bisa membuat seseorang merasa bersalah karena sedang sedih,” jelas Dr. Riana.

Tanda-tanda toxic positivity

Tanpa sadar, kita bisa menjadi pelaku atau korban toxic positivity, baik dalam hubungan dengan orang lain maupun diri sendiri. Ini beberapa tandanya:

  • Langsung memberi nasihat positif tanpa mendengarkan cerita lengkapnya.
  • Merasa bersalah saat sedih atau kecewa.
  • Memaksa diri untuk selalu tersenyum dan terlihat "baik-baik saja".
  • Menghindari teman yang sedang curhat karena takut merasa "terbebani".

Jadi pendengar yang lebih baik, begini caranya

  • Tahan keinginan untuk menasihati
  • Tidak semua cerita butuh solusi. Terkadang, cukup dengan mendengarkan dan berkata “Aku paham perasaanmu” sudah lebih menenangkan daripada seribu saran.
  • Validasi perasaan, bukan menilainya
  • Ganti kalimat seperti “Kamu terlalu sensitif” dengan “Wajar kok kalau kamu merasa gitu.”
  • Tawarkan dukungan, bukan dorongan berlebihan

Kalimat “Aku ada di sini kalau kamu butuh ditemani” lebih memberi rasa aman dibanding “Ayo dong, jangan gitu terus!”

  • Amati bahasa tubuh dan ekspresi wajah
  • Jangan keras pada diri sendiri

Toxic positivity juga bisa muncul saat kita memaksa diri untuk tetap ceria di tengah tekanan. “Kamu boleh merasa sedih. Kamu boleh merasa lelah. Itu manusiawi,” kata Dr. Riana.

Menurutnya, menerima emosi negatif justru bagian penting dari proses penyembuhan. Bukan berarti kita lemah, justru itu tanda kita sedang belajar jujur dan berani merawat diri.

  • Hadir, dengar, dan pahami

Menjadi pendengar yang baik tak harus sempurna. Kita hanya perlu hadir sepenuhnya, tidak menghakimi, dan memberi ruang aman bagi orang lain untuk menjadi dirinya sendiri.

Karena sering kali, yang paling dibutuhkan bukan kalimat penyemangat, melainkan seseorang yang mau duduk diam, mendengar dengan hati, dan berkata, “Aku di sini, kamu nggak sendirian.”