Cerita Mereka yang Mengalami From Zero to Hero Syndrome, Ditinggal Setelah Mendampingi dari Nol

Ada cinta yang tumbuh karena berjuang bersama dari nol, ada pula cinta yang gugur saat impian satu pihak terwujud. Fenomena ini dikenal sebagai from zero to hero syndrome.
Fenomena ini terjadi ketika seseorang pasangan yang telah mendampingi sejak titik nol, ditinggalkan pasanganya ketika sudah merasa "naik kelas".
Tak hanya itu, fenomena ini juga menjadikan perjuangan laki-laki yang menjadi bagian inti cerita cinta, dengan mengesampingkan peran perempuan dalam mendukung karirnya.
Anira, Diandra, dan Katrin adalah tiga perempuan yang pernah berada di titik itu. Mereka pernah menjadi pendamping setia di balik perjuangan, tapi akhirnya hanya jadi bagian dari masa lalu, bukan masa depan.
Cerita mereka yang mengalami from zero to hero syndrome
Berjuang bersama dari nol: menjadi bahu saat menata masa depan
Cinta mereka dimulai dari masa-masa sederhana. Ketika masa depan belum jelas, ketika perjuangan masih penuh rintangan.
Mereka hadir bukan hanya sebagai kekasih, tetapi sebagai penyemangat, penopang, dan sosok yang rela membantu berbagai hal untuk mempermudah langkah pasangannya.
Anira (23) dari Jakarta, menjalin hubungan selama empat tahun dengan seorang laki-laki yang tengah berjuang meniti karier di salah satu institusi pemerintahan.
Ia menjadi saksi jatuh bangunnya sang kekasih, bukan hanya dari kejauhan, tapi ikut terlibat dalam prosesnya.
“Aku nemenin dia dari belum jadi apa-apa sampai sekarang dia udah jadi ‘orang’. Aku bantuin dari segi psikisnya, bahkan beberapa dokumen dia juga aku bantu urus,” ujar Anira kepada Kompas.com, Senin (30/6/2025).
From zero to hero syndrome menggambarkan kisah cinta yang tak seimbang; saat perempuan mendampingi dari nol, tapi ditinggal ketika pasangan sukses. Inilah cerita Anira, Diandra, dan Katrin yang berjuang dengan cinta, tapi tak dipilih di akhir.
Hal serupa juga dialami oleh Diandra (25). Perempuan asal Sidoarjo ini bahkan menemani lebih dari sekadar ambisi karier.
Ia ikut mendampingi sang pacar menjalani pengobatan alternatif, demi memastikan pria yang ia cintai lolos seleksi instansi.
“Aku temani dia ke Jogja buat pengobatan. Karena untuk masuk ke instansi itu, dia harus sehat dan bugar. Aku pikir, ini perjuangan kita bersama,” katanya.
Katrin (26), juga menginvestasikan banyak hal dalam hubungan. Ia dan sang kekasih sempat menjalani LDR (long distance relationship atau hubungan jarak jauh) antarprovinsi.
Saat pasangannya memutuskan berhenti kuliah untuk fokus pada seleksi instansi lain, Katrin tetap setia mendukung keputusannya dan membantunya dari kejauhan.
Segala bantuan coba ia kerahkan demi bisa meringankan beban pasangannya kala itu. Jarak di antara mereka tak menggoyahkan perempuan asal Jakarta itu untuk tetap selalu ada.
“Namun, kuliah dia berhenti karena dia mau fokus mendaftar ke instansi lain, sedangkan aku tetap lanjut kuliah di luar kota,” jelas Katrin.
Ketika beban pasangan seolah menjadi beban bersama
Cinta yang dalam, terkadang membuat batas antara mendampingi dan mengorbankan diri menjadi kabur.
Tak hanya mendengarkan keluh kesah, mereka ikut menanggung resah, memikul ketegangan, bahkan hingga lupa pada diri sendiri.
Hal ini tentu menjadi beban emosional bagi perempuan Ia harus menutupi keresahannya demi bisa menenangkan pasangannya.
Anira bercerita bagaimana ia ikut stres saat kekasihnya harus melalui tahap administrasi dan seleksi yang melelahkan.
Bahkan, ambisinya terhadap impian sang pasangan begitu besar, sampai-sampai ia mengesampingkan impiannya sendiri.
“Aku enggak merasa terbebani untuk bantu, tapi aku ikut kepikiran. Rasanya kasihan aja kalau dia sampai gagal. Aku ingin dia berhasil, mungkin lebih dari dia pengen itu sendiri,” ungkap dia.
Kemudian, Diandra pun mengalami tekanan mental yang sama. Ketika kekasihnya gagal dalam seleksi, ia ikut terpikirkan mengenai masa depan sang kekasih.
From zero to hero syndrome menggambarkan kisah cinta yang tak seimbang; saat perempuan mendampingi dari nol, tapi ditinggal ketika pasangan sukses. Inilah cerita Anira, Diandra, dan Katrin yang berjuang dengan cinta, tapi tak dipilih di akhir.
Ada ketakutan yang menggantung di pikirannya, takut perjuangan sang kekasih sia-sia, dan mereka kehilangan masa depan bersama.
“Itu tahun terakhir dia bisa daftar karena usianya sudah maksimal. Aku ikut stres, mikir gimana kalau gagal? Mau dibawa ke mana hidup dia?” ucapnya.
Sementara Katrin, meski LDR, tetap berusaha mengisi kekosongan dengan memberi dukungan sebanyak mungkin.
Ia rela mengerjakan tugas kuliah sang pacar, sambil mengabaikan kelelahan diri sendiri.
“Apalagi kami terpisah jarak, jadi kadang perasaan aku enggak tenang dan merasa kurang effort karena tidak bisa menemani secara langsung,” jelas Katrin.
“Perasaan itu membuat aku akhirnya tergerak untuk bantu tugas-tugasnya dia, meskipun bukan tanggung jawabku dan akupun punya tugas kuliah sendiri,” sambungnya.
Janji yang tak dijemput dan berubah jadi kenangan
From zero to hero syndrome menggambarkan kisah cinta yang tak seimbang; saat perempuan mendampingi dari nol, tapi ditinggal ketika pasangan sukses. Inilah cerita Anira, Diandra, dan Katrin yang berjuang dengan cinta, tapi tak dipilih di akhir.
Seiring berjalannya waktu, benih harapan pun tumbuh. Janji-janji untuk masa depan terucap.
Sebagian diyakini, sebagian dipertanyakan, tapi semua ditelan kepercayaan yang penuh.
Anira masih mengingat jelas janji yang pernah diberikan pasangannya kala itu, yaitu pernikahan. Tapi semua itu kandas begitu saja saat kenyataan berkata sebaliknya.
Ia justru dikhianati oleh janji tersebut. Sang kekasih tidak bisa memegang komitmen bersama Anira dan memilih mendekati perempuan lain.
“Lucu sih kalau keinget. Kok bisa-bisanya percaya aja sama omongan kosong itu. Tapi ya dulu cinta kan, percaya aja,” katanya dengan nada getir.
Sementara itu, Katrin tak pernah mendengar janji soal menikah, terlebih kala itu ia merasa masih terlalu muda. Tapi ada harapan yang terus ia rawat.
Ia percaya, semua akan kembali membaik setelah masa pendidikan selesai. Namun nyatanya, hubungan itu justru berakhir sepihak.
“Dia bilang mau fokus ke diri sendiri. Tapi cuma selang beberapa minggu, dia udah punya pacar baru,” ujarnya lirih.
Begitu pula dengan, Diandra sempat merasa diyakinkan bahwa mereka akan tetap bersama, apapun yang terjadi.
Sama seperti Anira dan Katrin, Diandra juga harus menerima kenyataan pahit.
Begitu masuk ke instansi impian, semuanya berubah. Kekasihnya mulai melirik perempuan lain, bahkan terang-terangan mengatakan ingin dekat dengan yang lain.
“Tapi tetap bilang mau balik ke aku kalau udah beres semuanya. Aku enggak mau jadi pilihan kedua. Bahkan keluarganya minta aku nerima dia balik, tapi aku enggak mau,” ujarnya dengan yakin.
Melepaskan luka dan kembali menemukan diri sendiri
From zero to hero syndrome menggambarkan kisah cinta yang tak seimbang; saat perempuan mendampingi dari nol, tapi ditinggal ketika pasangan sukses. Inilah cerita Anira, Diandra, dan Katrin yang berjuang dengan cinta, tapi tak dipilih di akhir.
Keputusan untuk pergi bukanlah hal yang mudah. Tapi ketika cinta tak lagi menguatkan, mereka memilih untuk mundur. Bukan karena kalah, tapi karena tahu mereka layak untuk dicintai dengan lebih baik.
Katrin, meski awalnya terpukul lantaran diputuskan secara sepihak, akhirnya melihat nilai dirinya sendiri setelah ditinggalkan.
Ia tersadar, begitu lama dia telah melupakan dirinya sendiri demi harapan palsu yang sempat ia percayai.
“Aku nyesel karena terlalu banyak kasih effort. Tapi sekarang aku tahu, aku pantas dapat yang lebih baik. Sekarang aku lebih pilih diriku sendiri,” ujarnya.
Pengalaman tersebut juga ia anggap sebagai pelajaran penting dalam memilih pasangan. Di sisi lain, ia bersyukur karena kejadian tersebut menjadi acuannya dalam memilih pasangan yang lebih baik ke depannya.
Berbeda dengan Katrin, Anira sempat mencoba mediasi oleh pasangannya dan perempuan lain yang didekati pasangannya.
Namun saat tak ada kejelasan dan pasangan terbukti berselingkuh. Sejak saat itu, ia tahu tak ada lagi yang perlu dipertahankan.
“Aku ikhlas bantuin dia. Aku nggak nyesel. Tapi kecewa, iya. Sangat disayangkan aja. Tapi ya sudah, mungkin pelangi datang setelah badai ini,” ucapnya, pelan namun yakin.
Diandra memilih pergi saat tahu pasangannya mulai mendekati perempuan lain. Tak ada kesempatan kedua untuk kembali memperbaiki hubungan tersebut.
Meski keputusan yang berat untuk menyudahi hubungan tersebut, tetapi yang lebih menyakitkan adalah, sang kekasih juga ingin menyelesaikan hubungan itu.
“Dia setuju diputusin dengan nada menantang. Dari situ aku tahu, dia memang enggak pernah serius. Sekarang, kita sudah bahagia dengan pasangan masing-masing,” pungkas dia.
Kisah Anira, Diandra, dan Katrin mungkin hanya tiga dari sekian banyak perempuan yang mengalami hal serupa.
Mereka memberi dengan tulus, berharap hubungan tumbuh bersama. Namun, tak semua kisah cinta berbuah manis.
From zero to hero syndrome bukan hanya soal ditinggal saat pasangan sukses. Ini adalah cerita tentang cinta yang tidak seimbang, tentang peran pendamping yang tak dihargai, dan tentang keberanian memilih pergi saat bertahan justru menyakiti.