Jangan Abaikan Mimpi Sendiri demi Pasangan, Belajar dari From Zero to Hero Syndrome

From Zero to Hero Syndrome, menemani dari nol, from zero to hero syndrome, menemani pasangan dari nol, berjuang dari nol, from zero to hero, from zero to hero syndrome artinya, Jangan Abaikan Mimpi Sendiri demi Pasangan, Belajar dari From Zero to Hero Syndrome

Fenomena From Zero to Hero Syndrome terjadi ketika seseorang, biasanya perempuan, ditinggalkan kekasihnya yang sudah sukses. Hal ini terjadi meskipun sang perempuan sudah setia menemani dari nol.

Dalam prosesnya, seringkali perempuan diminta sabar, kuat, dan terus mendukung, meski hubungan tersebut tak selalu menjanjikan arah yang jelas. Kondisi ini bahkan membuat perempuan mengabaikan tujuan dan mimpi pribadinya.

Menanggapi fenomena ini, Psikolog Klinis Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi., Psikolog, mengingatkan, perempuan berhak punya batasan dalam relasi. Mendampingi pasangan bukan berarti mengesampingkan impian dan pertumbuhan diri sendiri.

“Perempuan berhak membuat boundaries, seperti minta laki-laki mengembangkan diri untuk dirinya sendiri,” ujar Adelia saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/6/2025).

Fenomena from zero to hero syndrome

Perempuan merasa harus menunggu pasangan sukses

From Zero to Hero Syndrome, menemani dari nol, from zero to hero syndrome, menemani pasangan dari nol, berjuang dari nol, from zero to hero, from zero to hero syndrome artinya, Jangan Abaikan Mimpi Sendiri demi Pasangan, Belajar dari From Zero to Hero Syndrome

Belajar dari fenomena from zero to hero syndrome, psikolog ingatkan, perempuan berhak berkembang meski sedang menemani pasangan dari nol.

Menurut Adelia, relasi yang sehat bukan soal siapa yang lebih banyak berkorban, tapi dua individu yang sama-sama bertumbuh dan saling mendukung. 

Sayangnya, dalam budaya yang masih patriarki, perempuan kerap merasa harus "menunggu" pasangan mencapai titik yang dijanjikan, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu, tenaga, dan ambisi pribadi.

“Sebab, kita sebagai perempuan juga berhak untuk mengembangkan diri dan tetap berjalan atas tujuan kita, meskipun dalam suatu hubungan,” katanya.

Ia menyarankan perempuan untuk tidak larut dalam dinamika yang membuat mereka merasa harus selalu "menyesuaikan diri". 

Hubungan yang sehat seharusnya memberi ruang aman untuk masing-masing pihak berkembang, bukan malah membebani salah satunya dengan tuntutan kesetiaan tanpa arah.

Tak perlu merasa bersalah ketika memprioritaskan diri

Adelia menuturkan, perempuan tidak perlu merasa bersalah ketika memprioritaskan dirinya sendiri dalam relasi. 

Justru dengan terus melangkah sesuai tujuan hidupnya, perempuan dapat menciptakan rasa aman dan stabil dari dalam dirinya sendiri.

“Hal ini sebenarnya agar perempuan juga tidak dibebani untuk menunggu karena harusnya sama-sama berkembang supaya bisa bertemu di titik yang sama,” ujarnya.

Ketika perempuan tetap bertumbuh secara mandiri, keberhasilan atau kegagalan dalam hubungan tidak akan sepenuhnya mengguncang identitas dan rasa harga diri. 

Sebab, yang terpenting bukan hanya siapa yang bertahan dalam hubungan, tapi bagaimana masing-masing tetap bisa berdiri tegak dengan tujuan hidup yang jelas.