Fenomena From Zero to Hero Syndrome, Ketika Perempuan Menemani dari Nol Lalu Dilupakan

From Zero to Hero Syndrome, budaya patriarki, dukungan emosional, Budaya patriarki, relasi timpang, apa itu from zero to hero syndrome, Fenomena From Zero to Hero Syndrome, Ketika Perempuan Menemani dari Nol Lalu Dilupakan, 1. Tekanan budaya patriarki, 2. Perasaan insecure atau tidak percaya diri, 3. Ujian untuk melihat seberapa setia pasangan, 4. Keinginan membangun dari nol bersama-sama

Menemani pasangan dari nol banyak dilakukan perempuan demi mendukung pasangannya menjadi versi terbaik dari dirinya.

Tak jarang, pasangan menjanjikan untuk terus bersama atau bahkan melangkah ke jenjang yang lebih serius ketika mereka sukses.

Tapi bagi sebagian perempuan, janji tersebut justru berakhir dengan luka.

Ketika pasangannya sudah “naik level” secara ekonomi atau sosial, mereka malah dilupakan dan ditinggalkan.

Fenomena ini dikenal sebagai From Zero to Hero Syndrome.

Apa Itu From Zero to Hero Syndrome?

From Zero to Hero Syndrome menggambarkan pola relasi ketika seorang laki-laki meminta pasangannya untuk setia dan mendampinginya sejak ia belum memiliki apa-apa, baik secara materi maupun karier.

Dalam banyak kasus, pasangan perempuan yang dengan tulus menemani dan berkontribusi dalam proses perjuangan itu justru ditinggal setelah pasangannya mencapai kesuksesan.

“Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pandangan ini sepenuhnya. Selama pasangannya juga bersedia menemani laki-lakinya dan tahu hubungannya mau dibawa seperti apa,” jelas Psikolog Klinis Melisa, M.Psi., Psikolog, pada Kompas.com, Sabtu (28/6/2025).

Secara emosional, perempuan sering terlibat sebagai tempat curhat, penyemangat, bahkan penopang keuangan.

Namun semua kontribusi ini tak selalu diakui sebagai bagian dari keberhasilan pasangannya.

Fenomena ini mencerminkan relasi yang timpang, di mana cinta berubah menjadi kerja emosional yang tidak dibayar, tanpa jaminan kejelasan masa depan.

Jika hubungan itu berakhir setelah sang pria “naik level”, maka pengorbanan yang telah diberikan terasa sia-sia.

Mengapa From Zero to Hero Syndrome Bisa Terjadi?

Berikut beberapa penyebab yang kerap menjadi pemicu terjadinya fenomena ini, menurut para psikolog.

1. Tekanan budaya patriarki

Menurut Psikolog Klinis Adelia Octavia Siswoyo dan Melisa, M.Psi., Psikolog, sindrom ini lebih banyak dialami perempuan karena pengaruh budaya patriarki.

Dalam sistem ini, laki-laki dianggap harus selalu berada “di atas” pasangan mereka, baik dari sisi finansial, status, maupun pencapaian.

“Korbannya lebih banyak perempuan, karena kultur patriarki di Indonesia membentuk mindset bahwa laki-laki perlu menjadi ‘lebih’ dari pasangannya,” ujar dia.

Saat perempuan lebih dulu sukses atau mandiri, sebagian laki-laki merasa terancam atau tidak cukup layak.

Rasa inferior ini bisa menimbulkan ketegangan dan akhirnya membuat hubungan tidak bertahan.

2. Perasaan insecure atau tidak percaya diri

Sebagian laki-laki menyadari bahwa mereka belum bisa memberikan sesuatu yang berarti dalam hubungan.

Ketika pasangan perempuan memiliki kualitas atau pencapaian lebih, mereka merasa kehilangan posisi sebagai “pemimpin” dalam relasi.

Oleh karenanya, ia memberikan janji kepada pasangannya jika bersedia menemaninya dari “nol” hingga sukses, agar bisa kembali memimpin hubungan tersebut.

“Banyak laki-laki yang menyadari bahwa mereka tidak bisa menawarkan value apa pun ke pasangan, mungkin karena pasangan memiliki value lebih,” jelas Adelia.

3. Ujian untuk melihat seberapa setia pasangan

Di sisi lain, Melisa menambahkan, dalam beberapa kasus, permintaan untuk “temani dari nol” bisa menjadi semacam ujian tidak langsung bagi pasangan.

“Bisa jadi sebagai ajang bagi laki-laki untuk menilai apakah pasangannya cukup supportive dan mampu menerima mereka apa adanya, termasuk pada titik dari nol ini,” jelas Melisa.

Sayangnya, ujian ini kadang tidak dibarengi dengan komitmen jangka panjang, yang membuat perempuan merasa “hanya dijadikan batu loncatan”.

4. Keinginan membangun dari nol bersama-sama

Meski begitu, ada juga pasangan yang benar-benar memiliki niat tulus untuk tumbuh bersama dari titik nol.

Bagi sebagian pria, ini adalah cara untuk membangun kebersamaan dan menyamakan visi sejak awal.

“Bisa juga karena ingin membangun hubungan bersama-sama as a team dari titik nol ini,” tambah dia.

Namun jika dalam prosesnya hanya satu pihak yang mendapat ruang berkembang, sementara yang lain terus berperan sebagai pendukung, maka relasi itu tetap tidak seimbang.