Kecerdasan Buatan (AI) Bikin Pasokan Air Minum Berkurang

Stok pasokan air minum di dunia semakin menipis. Penyebabnya bukan lagi karena kekeringan dan perubahan iklim, melainkan dari perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Melansir dari laman Forbes, kehadiran teknologi AI yang terus berkembang ternyata menimbulkan berbagai dampak negatif. Salah satunya yaitu mempercepat berkurangnya pasokan air minum di dunia.
Adapun penyebab utama dari dampak negatif ini datang dari tingginya konsumsi air bersih yang digunakan perusahaan teknologi untuk mendinginkan pusat data (data center) AI mereka.
Air bersih untuk pusat data AI
Pusat data AI membutuhkan sistem pendingin khusus agar suhu server bisa tetap stabil. Sistem pendingin ini didapatkan dari menara pendingin dan mekanisme udara yang memanfaatkan air bersih sebagai bahan utama untuk menguapkan panas.
Laporan menyebut, setiap kilowatt-hour (kWh) energi yang digunakan untuk proses pendinginan server AI, bisa menghabiskan hingga 9 liter air.
Selain itu, karena mayoritas perusahaan teknologi AI berlokasi di Amerika Serikat (AS), kebutuhan listrik untuk menjalankan pusat data mereka juga berdampak pada konsumsi air yang digunakan.
Pasalnya, pembangkit listrik di AS masih banyak yang mengandalkan sistem termoelektrik. Sistem ini membutuhkan air dalam jumlah besar dengan rata-rata 43,8 liter air untuk setiap kilowatt-hour (kWh).
Komitmen perusahaan teknologi
Sebagai perusahaan teknologi yang turut membangun pusat data AI-nya sendiri, Microsoft, Google, dan Meta mengeklaim bahwa pihaknya tengah berupaya mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Lewat berbagai proyek ekologi, ketiganya berjanji untuk "mengganti" atau mengisi ulang pasokan air di dunia, lebih banyak dari yang mereka konsumsi.
Target ambisius ini rencananya akan dicapai paling lambat pada tahun 2030. Namun hingga kini, belum jelas bagaimana mereka akan merealisasikan janji tersebut, mengingat ketersediaan air bersih global juga semakin terbatas.
Google sendiri dalam komitmennya baru-baru ini menyebut bahwa air bersih merupakan "sumber daya paling berharga di bumi". Oleh karena itu, perusahaan bertekad untuk terus menjaga keamanan air dan kelestarian ekosistem yang sehat.
Meski janji ketiga perusahaan teknologi tadi terdengar meyakinkan, penggunaan air untuk pengembangan AI di masa depan tetap memicu kekhawatiran.
Pasalnya, pada tahun 2027, konsumsi air dari industri AI diproyeksikan bisa mencapai 6,6 miliar meter kubik. Jumlah ini dinilai sangat besar dan berpotensi memperparah kelangkaan pasokan air bersih dunia.
Untuk diketahui, menurut Laporan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir dua pertiga populasi dunia mengalami kekurangan air yang parah setidaknya selama satu bulan dalam setahun.
Sementara itu, pada tahun 2030, kesenjangan ini diprediksi akan semakin parah, dengan hampir separuh populasi masyarakat di dunia bakal menghadapi kelangkaan air yang parah.
Imbauan untuk perusahaan teknologi
Dengan adanya perkiraan akan kelangkaan pasokan air bersih di masa depan, CEO dan jajaran direksi perusahaan teknologi diimbau untuk mempertimbangkan ulang strategi pembangunan AI mereka.
Seperti disinggung di atas, pembangunan pusat data AI bisa menimbulkan ancaman baru terhadap ketersediaan sumber daya alam paling mendasar, yakni air bersih.
Jadi, tidak hanya soal teknologi dan keuntungan, para pemimpin perusahaan teknologi diminta untuk merenungkan dampak lain yang bisa berpengaruh kepada lingkungan dan masyarakat sosial.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam Konferensi Air PBB mengatakan bahwa "air adalah salah satu hak asasi manusia dan faktor penentu pembangunan bersama untuk membentuk masa depan yang lebih baik".
Namun sayangnya, menurut Guteress, di tengah lonjakan teknologi AI, ketersediaan air justru berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Ia menyebut, "air sedang menghadapi masalah yang serius," sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Forbes, Selasa (22/7/2025).