Legislator Ingatkan Penguatan Proteksi Pertanian Nasional di Tengah Gempuran Impor AS

Komisi VI DPR RI menekankan pentingnya penguatan proteksi sektor pertanian nasional. Hal ini menyusul kebijakan bea masuk 0 persen bagi produk pertanian Amerika Serikat ke pasar Indonesia, sementara produk Indonesia justru dikenai tarif tinggi, mencapai 19 persen oleh AS di era Donald Trump.
Anggota Komisi VI DPR RI, Abdul Hakim Bafagih, menegaskan bahwa ketidakseimbangan ini akan diatasi dengan instrumen perlindungan dalam negeri yang kuat. Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan bilateral Komisi VI DPR RI dengan National Policy Committee of the National Assembly of South Korea di Jakarta, Senin (28/7).
"Sektor pertanian tidak akan dibiarkan berjuang sendiri tanpa perlindungan. Bulog akan diperkuat sebagai pembeli siaga, dan IDFOOD sebagai operator distribusi nasional, memastikan hasil pertanian rakyat terserap dengan harga yang adil," tegas Hakim.
Pemerintah Indonesia telah menyiapkan langkah antisipatif menyeluruh, dari hulu hingga hilir, untuk menghadapi lonjakan produk pertanian impor, khususnya dari Amerika. Langkah ini mencakup penguatan peran BUMN pangan seperti Perum Bulog sebagai penyerap hasil pertanian, dan IDFOOD sebagai distributor resmi produk dalam negeri.
Sistem proteksi yang sedang dibangun juga mencakup dukungan modal, infrastruktur rantai dingin, distribusi berbasis data, serta penataan pasar domestik agar tidak didominasi barang impor.
Presiden Prabowo Subianto, melalui berbagai kementerian dan lembaga, juga tengah mengintegrasikan sistem pertanian nasional secara menyeluruh, mulai dari produksi, pengolahan, distribusi, hingga penentuan harga pasar.
"Kami akan memastikan ekosistem pertanian kita mandiri dan kuat, dari petani hingga konsumen. Bukan hanya mampu bertahan dari impor, tetapi juga berdaya saing global," jelas Hakim.
Komisi VI DPR juga menyadari ketergantungan Indonesia pada beberapa komoditas impor seperti gandum dan kedelai, yang sebagian besar masih berasal dari AS. Namun, ketergantungan ini perlahan dikurangi melalui diversifikasi pangan dan peningkatan produksi lokal.
"Beberapa komoditas memang belum bisa dipenuhi sepenuhnya dari dalam negeri, seperti kedelai dan gandum. Tapi kami punya strategi jangka panjang untuk menguranginya, bahkan sudah mulai mengembangkan sorgum sebagai substitusi impor," tambahnya.