Menyusui Butuh Ketenangan, HCC Dorong Pemerintah Perbanyak Ruang Laktasi

ruang laktasi, ibu menyusui, menyusui di tempat umum, menyusui di ruang publik, ruang laktasi di tempat umum, Menyusui Butuh Ketenangan, HCC Dorong Pemerintah Perbanyak Ruang Laktasi

Setiap ibu memerlukan ketenangan dalam menyusui anaknya di ruang publik.

Sebab, ada bayi cenderung rewel saat berada di lingkungan yang penuh orang dan berbagai jenis suara. Oleh karena itu, kehadiran ruang laktasi sangat penting.

“Tugas pemerintah untuk memastikan supaya fasilitas umum juga punya tempat menyusui,” kata peneliti utama sekaligus pendiri Health Collaborative Center (HCC), Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, di Restoran Beautika, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (8/8/2025).

Pemerintah perlu memperbanyak ruang laktasi

Banyaknya ruang laktasi di tempat umum bisa membantu menghilangkan, atau setidaknya meminimalisasi, persepsi kontra terhadap ibu yang menyusui di tempat umum.

Selain itu, kehadiran ruang laktasi juga dapat melindungi ibu agar bisa menyusui dengan baik.

Ruang laktasi di transportasi umum

Menurut Ray, menghadirkan ruang laktasi di transportasi umum seperti kereta sebenarnya cukup memungkinkan, mengingat saat ini sudah ada gerbong khusus perempuan.

“Sudah waktunya ada gerbong khusus (ibu menyusui), atau mungkin ada ruang khusus menyusui,” ucap dia.

Ketika berada di dalam transportasi umum, seringkali kita melihat penanda area khusus ibu hamil, lanjut usia (lansia), penyandang disabilitas, dan ibu dengan anak.

Jadi, tidak ada salahnya untuk turut memasukkan ibu menyusui ke dalam area khusus tersebut.

“Apalagi kalau ibu pekerja kantoran, dia akan membawa anaknya. Pasti akan ada periode supaya anak enggak nangis, ya disusuin di tempat umum. Ya dikasihlah ruang untuk menyusui,” ujar Ray.

Ruang laktasi di tempat umum

Saat ini, sudah banyak mal yang memiliki ruang laktasi. Kendati demikian, ruang laktasi lebih tepat disebut sebagai “pojok laktasi”.

“Karena lokasinya mojok di ujung. Jarak tempuhnya jauh. Apalagi anaknya masih usia berapa bulan, itu ASI sudah mulai merembes. Akhirnya ibu pilih lokasi yang terdekat. Apa? Toilet,” tutur Ray.

Padahal menyusui di toilet sangat tidak direkomendasikan, mengingat ruang tersebut penuh dengan kuman meskipun sering dibersihkan oleh pihak mal.

“Jangan pernah menormalisasi ibu memompa ASI (dan menyusui) di toilet. Karena ini ngasih makanan (ke bayi). Mau enggak kita, orang dewasa, makanannya diolah di toilet? Enggak mau kan? Bayi juga eggak mau,” tegas dia.

Normalisasi menyusui di ruang publik

Meskipun pihak HCC mendorong pemerintah untuk memperbanyak ruang laktasi di tempat umum, mereka juga mendorong agar masyarakat lebih menormalisasi menyusui di tempat umum.

Secara alamiah, tubuh bayi belum bisa memproses makanan sampai berusia enam bulan, ketika masuk fase pemberian makanan pendamping ASI (MPASI).

Untuk menerima nutrisi yang menunjang tumbuh kembangnya, bayi memerlukan ASI. Saat sudah memasuki fase MPASI, pemberian ASI masih harus dilakukan sampai mereka berusia dua tahun.

ASI memang bisa diberikan lewat botol dengan cara dipompa. Namun, menyusui secara langsung (direct breastfeeding) menawarkan beragam manfaat, salah satunya meningkatkan ikatan emosional ibu dan anak.

“Menyusui kan sama kayak makan. Mau makan di restoran, di tempat umum, itu enggak apa-apa kan. Menyusui bisa di mana saja karena perilaku alamiah, sama seperti makan dan minum,” ucap Ray.

Ketika menyusui di tempat umum dianggap sebagai sesuatu yang sama seperti makan dan minum di tempat umum, orang tidak akan sungkan untuk bertanya apakah seorang ibu sudah menyusui atau belum.

Pasalnya, terkadang ada ibu yang baru menyusui ketika anaknya mulai rewel. Padahal, anak yang mulai rewel adalah anak yang sudah merasa lapar alias perut kosong. Dengan kata lain, ibu perlu menyusui anak sebelum mereka rewel.

Meskipun jumlah ruang laktasi di tempat umum sudah lebih banyak, tak bisa dipungkiri masih banyak tempat umum yang belum memilikinya. Jadi, ibu menyusui di tempat umum harus dinormalisasi.

“Kita tidak boleh menormalisasikan orang yang bilang (ibu menyusui) di tempat ini harus cari tempat khusus. Kita ingin menormalisasi orang untuk bilang bahwa enggak apa-apa lho ibu menyusui di sini. Dan ternyata, ini belum terjadi,” papar dia.

Masih ada perspektif negatif soal ibu menyusui di ruang publik

HCC merilis penelitian terbaru yang dilakukan pada 4-5 Agustus 2025, bertajuk “Persepsi dan Dukungan pada Ibu Menyusui di Tempat Umum”.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen sosial berbasis daring melalui pendekatan kuantitatif dan potong lintang pada total 731 responden.

Ratusan responden itu terdiri dari 84 persen responden perempuan dan 16 persen responden laki-laki. Dari total seluruh responden yang terlibat, 33 persen berusia kurang dari sama dengan 30 tahun, dan 67 persen berusia lebih dari 30 tahun.

Lalu, 89 persen responden berstatus sudah menikah dan 11 persen responden belum menikah. Tingkat pendidikan 60 persen responden adalah kurang dari SMA/sederajat, dan 40 persen sarjana atau lebih.

Penelitian mengungkap, sebanyak 30 persen responden menyatakan tidak nyaman melihat ibu menyusui di ruang publik.

Kemudian, 29,7 persen merasa gelisah saat melihat ibu menyusui di tempat umum. Bahkan, 50 persen responden sangat tidak setuju jika ibu menyusui dilakukan tanpa penutup. Lalu, 29 persen merasa ibu hanya boleh menyusui di ruang khusus, seperti ruang laktasi.

Temuan selanjutnya adalah 34,6 persen responden menolak ibu menyusui di taman atau ruang terbuka.

Selanjutnya, 33,8 persen responden menolak ibu menyusui di transportasi umum, baik itu di angkot, TransJakarta, pesawat, kapal, kereta, LRT, maupun MRT.

Kemudian, 32,8 persen menolak ibu menyusui di kafe, dan 30,6 persen menolak mereka menyusui anaknya di tempat makan.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!