Kemkomdigi Beri Roblox Waktu Singkat untuk Berbenah,Sanksi Menunggu Jika Tidak Ada Perbaikan Menyeluruh

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) melakukan pertemuan dengan perwakilan perusahaan pemilik Roblox. Pertemuan ini bertujuan untuk meminta platform game online tersebut agar mematuhi regulasi yang berlaku di Indonesia, khususnya terkait perlindungan anak.
"Jadi tadi kita menerima Roblox yang datang langsung perwakilan dari Asia Pasifik dan juga kita tadi sudah meminta beberapa hal," kata Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid di kantornya, Kamis (14/8).
Kemkomdigi meminta dua hal utama. Pertama, Roblox diwajibkan untuk membuka kantor perwakilan di Indonesia. Kedua, platform tersebut harus mematuhi regulasi perlindungan anak di ruang digital seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) dan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN).
Pihak Roblox menyatakan kesediaannya untuk melaporkan operasional platform mereka kepada Kemkomdigi. Sebaliknya, Kemkomdigi akan terus memantau kepatuhan Roblox terhadap hukum yang berlaku. Pertemuan ini merupakan langkah awal, dan kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pertemuan lanjutan secara berkala.
"Secara berkala kita akan panggil lagi, baru kemudian kita putuskan apakah ini perlu diblokir, atau perlu pembatasan usia yang lebih ketat, atau syukur kalau dalam waktu 1-2 bulan ini Roblox melakukan perbaikan-perbaikan yang menyeluruh untuk layanan di Indonesia," ucap Meutya.
Jika Roblox gagal melakukan perbaikan, platform tersebut berpotensi diblokir atau diberlakukan pembatasan usia yang lebih ketat.
Langkah ini diambil setelah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Kemkomdigi untuk menginvestigasi dampak negatif yang dialami anak-anak akibat bermain Roblox.
KPAI mencatat bahwa anak-anak korban platform digital atau game online dapat mengalami dampak fisik, psikis, mental, dan sosial. Terdapat kasus di mana anak-anak menjadi korban penipuan, eksploitasi, perundungan siber (cyberbullying), hingga kekerasan yang memanfaatkan celah dalam platform tersebut.
Kelalaian pihak Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dalam pengoperasiannya membuat anak-anak menjadi lebih rentan.