Di Manila Hari Manis IGK Manila

STADION Memorial Rizal, Manila, Filipina menjadi saksi kejayaan tim nasional sepak bola Indonesia di ajang SEA Games 1991.
Hari itu, 4 Desember 1991, adalah hari manis buat I Gusti Komyang Manila. Foto dokumentasi tabloid "BOLA" merekam kebahagiaan tentara yang terakhir berpangkat mayor jenderal itu.
Caption foto itu menyebutkan, "Manajer Timnas Indonesia IGK Manila menangis setelah tim Garuda menang adu penalti pada laga final SEA Games 1991 melawan Thailand".
Saking bahagianya manajer timnas itu menangis. Ia mewakili perasaan sebagian besar pecinta sepak bola atas kemenangan Indonesia kontra Thailand lewat adu penalti.
Kiper Edy Harto menjadi pahlawan setelah menggagalkan dua tendangan pemain Thailand. Indonesia menang 4-3 dan berhak atas medali emas.
Saat itu, saya masih SMA di kota kecil di bagian timur pulau Jawa. TVRI sudah disaingi televisi swasta seperti RCTI, SCTV dan TPI (sekarang MNC TV).
Lewat layar kaca, kiprah timnas yang diemong oleh Pak Manila dapat dinikmati gilbol di Tanah Air. Namun, ulasan mendalamnya baru saya seruput lewat tabloid "BOLA" (Kelompok Kompas Gramedia) serta harian "Jawa Pos".
Kebetulan saya suka beli eceran, terutama ketika ada momen besar seperti final sepak bola SEA Games, Olimpiade, Piala Eropa, Piala Dunia atau tim-tim besar di Tanah Air berlaga di kompetisi Perserikatan dan Galatama.
Pak Manila bukan tipe manajer yang banyak bicara--kalau bukan pelit ngomong. Dia tenang dan kalem, tapi tegas dan berwibawa seperti lazimnya sosok militer dalam kehidupan nyata dan dicitrakan oleh orang ramai.
Kepemimpinan itu pula yang tergambar pada sosok Anatoli Fyodorich Polosin asal Uni Soviet (sekarang Rusia). Polosin dibantu dua asisten, yakni Vladimir Urin dan Danurwindo.
Ia menerapkan disiplin keras kepada Ferril Raymond Hattu dkk. Aspek fisik ia gembleng betul. Ini fondasi yang ditanamkan Polosin sebelum pergi ke Filipina. Stamina pemain timnas tak boleh kedodoran lagi ketika membela merah putih.
Saya masih ingat pemain belakang timnas kala itu rata-rata gempal. Bek tengah dengan peran stopper seperti Robby Darwis, Herrie Setyawan, Sudirman dan Toyo Haryono tak hanya kekar dan berbadan besar, tapi tinggi.
Di barisan itu hanya Ferril yang sedikit berbadan kurus. Namun kapten timnas asal Petrokimia Gresik, Jawa Timur ini terbilang tinggi. Seorang libero yang lincah meski saat itu hampir 30 tahun.
Pada 1991, timnas kita bukan superior--bahkan untuk level Asia Tenggara. Namun, satu hal anyar yang dibawa timnas ke Manila: Rasa tak gentar menghadapi lawan sebelum laga 90 menit berlalu.
Ada satu lagi yang masih saya ingat: Polosin mengenalkan formasi 3-5-2 ke timnas Indonesia. Formasi ini berubah menjadi 5-3-2 saat diserang.
Tiga pemain bertahan diisi Ferril, Robby Darwis dan Sudirman. Dua wing back dihuni Aji Santoso (kiri) dan Herrie Setiawan (kanan).
Aji Santoso asal klub Arema ini di masa itu adalah bek sayap yang canggih menggocek bola mengiris sayap serta merebut bola. Tipe pemain yang lumayan melampaui zamannya.
Posisi gelandang disegel oleh Maman Suryaman dan satu di antara Yusuf Ekodono, Hanafing dan Kashartadi.
Sementara penyerang diisi dua pemain di antara Rochy Putiray, Peri Sandria, Widodo C Putro atau Bambang Nurdiansyah.
Timnas kita saat itu adalah produk kompetisi perserikatan (amatir) dan galatama (semi profesional), bukan pemain hasil naturalisasi seperti di masa Erick Thohir.
Bambang tak lain adalah alumni timnas 1986 yang hampir lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko--cuma berjarak empat laga. Korea Selatan yang membungkam Indonesia lolos ke Piala Dunia dan terus begitu hingga 2026.
Indonesia menekuk Malaysia, Vietnam serta Filipina untuk lolos ke semifinal juara grup. Formasi 3-5-2 itu bikin pertahanan kokoh. Hanya sekali dijebol Filipina.
Di babak semifinal kontra Singapura skor kacamata sehingga harus disudahi lewat adu penalti. Edy Harto mengantar Indonesia ke langit ketujuh selepas menang 4-2 lewat tos-tosan versus Singapura.
Di final pun, gawang Edy Harto tetap tak tersentuh meski Widodo C Putro dan Peri Sandria tak sanggup mengoyak gawang Thailand. Lagi-lagi skor kacamata sehingga Polosin membutuhkan kepiawaian sang kiper untuk juara.
Dalam lima laga, gawang timnas cuma jebol satu kali dan mengemas lima gol. Formasi 3-5-2 benar-benar timnas kokoh.
Dan kekokohan itu pula yang menerbangkan garuda sehingga mendulang emas sekali lagi, mengulangi kisah sukses Robby Darwis yang tergabung dalam timnas Indonesia di SEA Games 1987.
5-2 racikan Polosin mengguncang Asia Tenggara, jauh sebelum Brasil di Piala Dunia 2002 yang menerapkan formasi sama: 3-5-2. Ini kebanggaan kecil karena timnas lebih dulu menggunakannya, sebelas tahun sebelum Ronaldo dkk di Korea Selatan dan Jepang.
Dengan formasi itu tim asuhan Luiz Filipe Scolari juga kokoh. Dari babak grup hingga final cuma kebobolan empat gol oleh Turki Kostarika, dan Inggris.
Dalam tujuh laga itu, Brasil mengoleksi 18 gol. Turnamen itu menobatkan Ronaldo sebagai pencetak gol terbanyak dan melambungkan Brasil sebagai juara Piala Dunia untuk kali kelima.
Bergaya rambut ikonik, hampir plontos tapi menyisakan sedikit rambut di ujung depan kepalanya, CR-9 betul-betul membayar tuntas kegagalan Brasil di Piala Dunia 1998 di Perancis. Rambut ikonik itu di negeri kita. dikenal sebagai gaya rambut kuncung.
Ternyata tampilan kuncung itu ia sengaja untuk mengalihkan perhatian media atas cidera yang menimpanya. Trik itu bikin Ronaldo lebih tenang.
Di lapangan rambut aneh itu membantunya tampil gacor. Ronaldo menjadi elemen sempurna yang melengkapi formasi anyar 3-5-2 yang mengguncang pesta akbar bola sejagad tahun 2002.
Di kiper ada Marcos. Tiga bek belakang ditempati Lucio, Edmilson dan Roque Juniors. Dua bek sayap menampilkan Cafu dan Roberto Carlos. Di tengah ada Kleberson, Gilberto Silva dan Ronaldinho. Adapun posisi penyerang dihuni Ronaldo dan Ronaldinho.
Brasil tahun 2002 itu termasuk skuad paling komplet. Negeri Samba itu menegaskan dominasinya: Setelah menaklukkan Eropa tahun 1958 lewat aksi aduhai Pele dkk, "Si kuncung" Ronaldo dkk menguasai Asia.
Sejak itu Brasil tak juara, bahkan ketika piala punia digelar di benua Asia lagi, yakni Qatar 2022.
Membandingkan timnas Indonesia dengan Brasil mungkin tak sebanding. Namun, dalam perkembangan formasi dan teknik sepak bola, apa yang diukir Anatoli Polosin tahun 1991 itu layak dicamkan ekosistem sepak bola nasional.
Dengan kebulatan tekad dan keberanian, ternyata pemain sepak bola Indonesia mampu beradaptasi dengan formasi teknik sepak bola modern.
Pemain kita sanggup main dalam aneka formasi: Dari formasi tradisional 4-3-3, 3-5-2 hingga 3-4-3 atau 3-4-2-1 yang dimainkan timnas di masa Shin Tae-yong.
Saya membayangkan berada di skuad timnas menjelang pluit final SEA Games ditiup pada 4 Desember 1991 itu.
Pak Manila sedang dagdigdug kala mendapati informasi bahwa Herrie Setiawan terkena doping sebelum laga final dimulai. Informasi yang disampaikan oleh Danurwindo itu tentu dapat memengaruhi mental the winning team.
Namun, ternyata tidak. Pak Manila, Polosin, Urin dan Danurwindo sanggup menjaga fokus Ferril Raymond Hattu dkk. Begitu juga sang "tersangka" Herrie Setiawan. Timnas mampu menahan Thailand 0-0 dan mengakhiri adu penalti dengan kemenangan 4-3.
"Saya masih di sini dan belum diapa-apakan, kok dibilang saya kena doping. Dari mana mereka bisa tahu?” tegas Herrie ketika harian Kompas yang mengonfirmasi kabar doping itu sebelum laga final.
Bermental baja. Itulah skuad garuda. Dan ketegaran seperti itu tak akan ada tanpa sosok Pak Manila. Tidak banyak bicara, tapi selalu hadir dan bersama pemain.
Sehari selepas 80 tahun kemerdekaan RI, Pak Manila wafat. Jejaknya terentang dari Singaraja, Bali, 8 Juli 1942 hingga Jakarta, 18 Agustus 2025. Dia meninggal dalam usia 83 tahun lebih satu bulan dan sepuluh hari.
Pecinta sepak bola Indonesia akan terus mengingatnya, mengekalkan kenangan manis di momen emas di stadion Memorial Rizal, Manila, Filipina, 4 Desember 1991. Selamat jalan Pak Manila.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!