Beratnya Industri Otomotif RI: Pajak Avanza Rp5 Juta, di Thailand Rp150 Ribu

Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara

 Industri otomotif Indonesia tengah menghadapi beban berat. Lesunya penjualan, ketatnya kredit, hingga pajak kendaraan yang tinggi membuat sektor ini tertekan. Kondisi tersebut diakui banyak pelaku usaha sebagai hambatan serius.

Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut situasi ini sudah menimbulkan keluhan. “Perusahaan mengeluhkan pak kalau terus-terusan volume-nya seperti ini. Kita berat,” ujarnya, dikutip saat acara Forwin yang digelar di Kementerian Perindustrian belum lama ini.

Menurutnya, turunnya volume penjualan otomatis menekan rantai suplai. Dampak terbesar dari penurunan ini adalah pada tenaga kerja. Perusahaan tidak mampu mempertahankan kapasitas produksi dengan permintaan yang melemah.

“Saya belum mengkonfirmasi angkanya, ada perusahaan yang mereka melakukan pemutusan hubungan kerja, karena volume penjual turun dalam negeri, suplai mereka juga menurun,” jelasnya. 

Meski begitu, ada sisi positif yang masih menyelamatkan industri. “Mereka masih tertolong karena masih mampu ekspor,” kata Kukuh. Pasar luar negeri menjadi bantalan penting agar pabrik tidak gulung tikar.

Selain penjualan domestik yang lesu, pembiayaan juga menjadi masalah. Regulasi baru membuat kredit macet semakin sulit ditangani. Hal ini justru membuka ruang praktik tak sehat di lapangan.

"Aturan OJK di tahun 2023 di mana untuk menarik kendaraan yang kreditnya macet, itu nggak boleh sembarangan. Tapi dari situ kemudian banyak yang kreatif lah (menggunakan pihak ketiga), ini juga mengganggu," tuturnya. Situasi itu memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pembiayaan kendaraan.

Menurut Kukuh, imbasnya perusahaan pembiayaan memperketat syarat kredit. “Di Indonesia, 80 persen orang beli mobil pakai kredit. Waktu kreditnya terganggu karena kemudian perusahaan-perusahaan pembiayaan ini terganggu, mereka menaikkan, meningkatkan pengamanannya, memperketat persyaratan dan itu dampaknya adalah penurunan penjualan kendaraan,” jelasnya.

Tekanan juga datang dari kompetisi regional. Malaysia berhasil mencatat pertumbuhan di segmen mobil penumpang. Hal ini menandakan Indonesia tidak lagi dominan sepenuhnya di kawasan.

“Saya akhirnya membandingkan data AAF (ASEAN Automotive Federation), Januari sampai Mei. Indonesia masih unggul, tapi tahun lalu angkanya hanya selisih tipis dengan Malaysia,” ungkapnya. Data itu menunjukkan pentingnya pembenahan agar Indonesia tidak terus tertinggal.

Di sisi lain, kebijakan pajak di Indonesia menjadi sorotan utama. “Avanza di sini pajaknya Rp5 juta. Sementara di Thailand cuma Rp150 ribu padahal itu bikinan Indonesia. Saya cek dengan teman-teman pemilik merek,” ungkap Kukuh. Perbedaan tajam ini membuat iklim usaha di negara tetangga lebih menarik bagi konsumen maupun investor.

Kukuh menegaskan perlunya terobosan agar industri otomotif tidak stagnan. Menurutnya, Indonesia punya potensi besar untuk berkembang. “Bayangin industrinya bisa 3 juta unit seperti Meksiko. Luar biasa, orang datang ke sini investasi, bikin pabrik di sini, pasti akan ekspor juga,” jelasnya.