Wah, Pajak Mobil RI Diklaim Salah Satu yang Tertinggi di Dunia!
JAKARTA – Pengurus Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) mengeluarkan unek-uneknya mengenai struktur pajak mobil di negeri ini yang dinilai memberatkan konsumen.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara beranggapan bahwa struktur pajak mobil di Republik Indonesia (RI) sangat banyak dibandingkan dengan negara-negara lain. Ini membuat biaya perpajakan yang mesti dibebankan ke harga jual di pasar jadi cukup besar.
“Saya pernah di Vietnam berbicara dalam forum internasional. Saya dikomplain (pihak) dari Amerika. Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang majak mobilnya paling tinggi, setelah Singapura,” kata Kukuh yang turut membenarkan hal tersebut, ketika berbicara dalam Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) bertajuk ‘Menakar Efektivitas Insentif Otomotif’, Senin (19/5/2025) di Jakarta.
Dalam bahan paparannya, Kukuh menjabarkan seluruh instrumen pajak mobil di Indonesia.
Harga jual kepada konsumen harus dibebani mobil dari bea masuk jika mobilnya impor utuh, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), kemudian Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Sementara itu, pabrikan, distributor, maupun jaringan diler tetap harus memperhitungkan biaya sekaligus margin keuntungan mereka.
Peneliti LPEM FEB UI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia) Riyanto mengamini keterangan dari Kukuh. Berdasarkan kalkulasinya, beban biaya pajak mencakup hampir separuh dari harga mobil secara on the road (OTR).
“Hitungan saya itu (beban pajak terhadap harga jual mobil di pasar) 42 persen. Jadi, kalau misalkan harga mobil Rp300 juta, sebanyak 42 persennya itu dari pajaknya,” sebutnya.
Riyanto pun menyarankan pemerintah bersama-sama dengan industri otomotif mengkaji lagi rumusan struktur pajak mobil yang pas.
Jika harga bisa makin terjangkau karena pajak yang lebih kecil, penjualan mobil di Indonesia bakal lepas dari ‘jebakan 1 juta unit’ sejak 2013, industri otomotif makin berkembang pesat, dan perekonomian bakal mendapatkan multiplier effect dari hal tersebut.
“Pemerintah itu enggak perlu menghitung untung rugi. Negara enggak seperti perusahaan yang menghitung untung-rugi. Kan, yang perlu dilihat bukan cuma pendapatan pajaknya tapi ditimbang juga multiplier effect dari kebijakan terhadap perekonomian,” pikir Riyanto.
“Enggak apa-apa misalnya pendapatan pajak berkurang tapi terjadi penciptaan lapangan kerja, tumbuhnya industri komponen, dan lain-lain,” tutupnya. [Xan]