Malaysia Sahkan UU Pekerja Gig 2025, Apa Untungnya bagi Ojol dan Freelancer?

Bendera Malaysia.
Bendera Malaysia.

 Ekonomi digital yang terus berkembang melahirkan fenomena baru di dunia ketenagakerjaan, yaitu gig economy.

Model kerja ini semakin populer karena fleksibilitas waktu, kesempatan penghasilan tambahan, hingga peluang berkarier di berbagai sektor kreatif maupun jasa.

Namun, di balik fleksibilitasnya, pekerja gig sering kali menghadapi ketidakpastian karena berada di luar jangkauan hukum ketenagakerjaan formal.

Di Malaysia, sekitar 1,2 juta orang menggantungkan penghasilan dari sektor gig, mulai dari pengemudi e-hailing hingga pekerja kreatif.

Situasi ini mendorong Kementerian Sumber Manusia (Kesuma) untuk menghadirkan regulasi yang lebih jelas demi melindungi hak dan kesejahteraan para pekerja.

Pada 25 Agustus 2025, Kesuma mengajukan UU Pekerja Gig 2025 yang kemudian disahkan pada 28 Agustus.

Undang-undang ini disebut sebagai tonggak penting dalam memberikan kerangka hukum bagi pekerja gig yang sebelumnya rentan terhadap praktik eksploitatif perusahaan berbasis platform.

Apa Itu UU Pekerja Gig 2025?

Ilustrasi ojek online

Ilustrasi ojek online

Menurut Kesuma, UU Pekerja Gig 2025 memberikan definisi yang lebih jelas mengenai pekerja gig, termasuk kategori profesi yang masuk dalam lingkup perlindungan.

Pekerja gig didefinisikan sebagai individu yang menjalin perjanjian jasa dengan penyedia platform atau entitas, dan memperoleh penghasilan dari aktivitas seperti:

1. Seni pertunjukan (akting, menyanyi)

2. Kru produksi film

3. Penulis lirik atau komposer musik

4. Tata rias dan penata rambut

5. Jurnalis lepas

6. Layanan perawatan

7. Fotografi dan videografi

8. Ojek online (ojol), dan lainnya.

Mengapa UU Ini Penting?

Melansir dari Malay Mail, Undang-undang ini hadir untuk menjawab berbagai persoalan utama yang dihadapi pekerja gig.

Mulai dari ketiadaan pengakuan hukum, absennya perlindungan sosial, hingga lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa.

Dengan adanya aturan baru ini, ada beberapa langkah penting diberlakukan, di antaranya:

1. Kontribusi jaminan sosial seperti Perkeso (Pertubuhan Keselamatan Sosial) atau dan EPF (Employees Provident Fund) diwajibkan bagi penyedia jasa. Hal ini memberikan jaring pengaman yang sebelumnya tidak dimiliki pekerja gig.

2. Pembentukan Tribunal Pekerja Gig sebagai wadah penyelesaian sengketa secara transparan dan terstruktur.

3. Pengaturan mekanisme pembayaran, termasuk larangan pemotongan sepihak yang tidak sah.

Pekerja gig juga dapat membawa kasus ke mekanisme mediasi jika menghadapi masalah seperti:

1. Perselisihan dengan individu atau pemilik usaha yang mempekerjakan mereka.

2. Keputusan penyedia platform yang merugikan, misalnya penonaktifan akun.

3. Tuduhan pelanggaran atau kesalahan yang tidak jelas.

4. Tidak adanya mekanisme pengaduan internal atau ketidakpuasan terhadap hasil penyelesaian internal.

Kritik Terhadap UU Pekerja Gig 2025

Meski disambut baik, UU Pekerja Gig 2025 juga menuai kritik. Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam) menilai undang-undang ini masih memiliki kelemahan, seperti:

- Tidak ada jaminan upah minimum maupun batas waktu pembayaran yang jelas.

- Potensi celah pada aturan pemotongan gaji, karena masih memperbolehkan pengecualian tertentu yang dikhawatirkan bisa disalahgunakan.

- Kurangnya perlindungan privasi dan data pribadi, terutama dalam sistem penilaian atau pemeringkatan yang digunakan penyedia platform.

- Absennya hak bantuan hukum dan kebebasan berunding kolektif, yang dianggap krusial untuk menciptakan keadilan di ekosistem kerja gig.

Sejumlah kelompok, termasuk pengemudi e-hailing dan p-hailing, menyerukan agar undang-undang ini ditinjau lebih dalam oleh Komite Pilihan Parlemen sebelum diterapkan penuh. 

Mereka khawatir regulasi yang terburu-buru dapat menciptakan aturan yang tidak efektif, bahkan justru merugikan pihak yang ingin dilindungi.