Perlindungan Pekerja Gig Economy Didorong Masuk Revisi UU Ketenagakerjaan, Ini Pertimbangannya

Pekerja gig economy adalah individu yang bekerja dengan pola fleksibel, sementara, dan umumnya berbasis proyek atau kontrak jangka pendek. Model ini berbeda dari pekerjaan tradisional karena banyak difasilitasi oleh platform digital.
Diketahui, mereka bisa berupa pekerja lepas, kontraktor independen, maupun tenaga berbasis proyek yang tidak terikat hubungan kerja tetap. Karakteristik utama pekerja gig adalah fleksibilitas dalam memilih pekerjaan, waktu, serta lokasi kerja.
Umumnya mereka menjalankan kontrak jangka pendek dengan tugas spesifik, sementara platform digital seperti aplikasi atau situs web menjadi penghubung utama antara pekerja dan pengguna jasa.
Contoh profesi dalam gig economy cukup beragam, mulai dari pengemudi ojek online, kurir makanan, freelancer kreatif seperti desainer grafis atau penulis konten, hingga tenaga profesional di bidang IT yang bekerja melalui platform global seperti upwork atau fiverr. Bahkan pekerjaan administratif seperti asisten virtual juga termasuk dalam kategori ini.

Gig economy.
Di balik peluang fleksibilitas dan potensi penghasilan tambahan, pekerja gig menghadapi tantangan serius, antara lain ketiadaan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan atau pensiun serta ketidakpastian pendapatan. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan aturan terkait transportasi online dan mendorong kolaborasi antara platform dengan pekerja, namun sistem yang lebih adil dan seimbang masih sangat dibutuhkan.
Merespons hal tersebut, Sekretaris Fraksi Partai Golkar Mukhtarudin mengatakan bahwa pihaknya mengusulkan agar pekerja di sektor gig economy atau pekerja informal paruh waktu berbasis platform digital masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Revisi UU tersebut diketahui saat ini sedang dibahas di DPR.
Dia menegaskan perlunya arah pengaturan yang jelas untuk melindungi pekerja gig. Hal tersebut bertujuan memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial kepada para pekerja yang umumnya terikat kontrak jangka pendek dan bekerja berbasis aplikasi digital.
“Pengaturan ini diperlukan untuk memastikan kesejahteraan dan keberlanjutan pendapatan pekerja gig, yang seringkali terabaikan dalam sistem perlindungan sosial yang ada,” ujar Mukhtarudin, yang juga Ketua DPP Partai Golkar, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, 3 September 2025.
Dia menambahkan, pengaturan ini akan mengakui pekerja gig sebagai pekerja yang berhak atas hak-hak dasar, seperti jaminan sosial, perlindungan kesehatan, dan keamanan kerja setara dengan pekerja formal lainnya. Hal ini sekaligus menciptakan iklim kerja yang adil dan transparan di sektor gig economy, dengan dasar hukum yang jelas terkait hubungan antara platform digital dan pekerja.
“Dalam konteks ini, usulan para pekerja ojek online yang meminta biaya potongan dari aplikasi sebesar 10 persen dapat terakomodasi, dan Partai Golkar tentu akan mendorong aspirasi ini masuk dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan,” kata Mukhtarudin.
Lebih lanjut, Mukhtarudin menjelaskan sejumlah aspek yang diusulkan Golkar dalam revisi tersebut. Pertama adalah hak pekerja gig, yakni perlindungan jaminan sosial (kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja), upah yang adil, waktu kerja fleksibel, serta perjanjian kerja yang jelas.
Kedua, kewajiban platform digital, meliputi tanggung jawab menyediakan perlindungan dasar seperti asuransi kesehatan, kompensasi kecelakaan, pelatihan, transparansi data penghasilan, dan pembayaran tepat waktu. Ketiga, Fleksibilitas Kerja, yang tetap menjamin kebebasan pekerja memilih jenis pekerjaan dan waktu kerja tanpa menghilangkan hak-hak dasarnya.

Anggota Komisi XII DPR RI Mukhtarudin.
Keempat, Penyelesaian Sengketa, melalui mekanisme yang adil antara pekerja dan platform, termasuk dalam penentuan tarif, kualitas layanan, maupun kondisi kerja lainnya.
“Pekerja gig economy mencakup banyak bidang dan harus diatur dengan payung hukum yang tepat. Tanpa regulasi yang jelas, mereka berisiko terus berada di ruang abu-abu hukum yang merugikan,” ujar legislator dari Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah itu.
Saat ini, revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sedang dibahas di Komisi IX DPR RI. Revisi ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan tengah berada di tahap pembahasan tingkat pertama, dengan menyerap masukan dari para ahli dan pakar ketenagakerjaan.