Perkosaan Massal Mei 1998, Ada 52 Kasus Dilaporkan, Komnas Perempuan Ungkap Dampaknya

Komnas Perempuan, Mei 1998, kekerasan seksual Mei 1998, Kekerasan Seksual Mei 1998, kekerasan seksual mei 1998, Perkosaan Massal Mei 1998, Ada 52 Kasus Dilaporkan, Komnas Perempuan Ungkap Dampaknya

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pernah merilis hasil dokumentasi mendalam mengenai tragedi kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998.

Laporan tersebut dituangkan dalam sebuah buku yang dicetak pada tahun 2008, tepat 10 tahun setelah peristiwa berlangsung.

Buku ini disusun oleh tim khusus, salah satunya Andi Yentriyani, yang kini menjabat sebagai Ketua Komnas HAM RI periode 2020–2025.

Dalam ulasan yang diterima Kompas.com dari Andi pada Senin (16/6/2025), dijelaskan bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998 berasal dari berbagai latar belakang usia dan status sosial.

“Penutur para pendamping menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998, termasuk perkosaan, adalah terutama perempuan, dengan usia yang beragam, mulai dari anak-anak hingga dewasa, berkisar antara lima sampai dengan 50 tahun,” tulis buku tersebut.

Korban Kekerasan Seksual Mei 1998 Mayoritas Perempuan Tionghoa

Menurut laporan tersebut, sebagian besar korban kekerasan seksual pada Mei 1998 adalah perempuan etnis Tionghoa.

Penyerangan dan penjarahan pada masa kerusuhan umumnya terjadi di kawasan permukiman komunitas Tionghoa, yang menjadikan perempuan dari etnis ini sebagai target utama.

Pemilihan korban disebut tidak terjadi secara acak, melainkan didasari motif etnis. Dalam salah satu kesaksian yang tercantum dalam buku, seorang perempuan lolos dari percobaan pemerkosaan karena ibunya diketahui beretnis pribumi.

“Mungkin kalau bukan karena ibu saya berwajah pribumi, saya sudah habis diperkosa hari itu. Pengalaman ini tidak pernah saya laporkan. Di rumah, kami hampir tidak pernah membicarakannya. Saat ini, saya sudah bisa menceritakan pengalaman ini dengan berjarak, meskipun kalau kamu pegang, tangan saya dingin,” ungkap seorang korban percobaan pemerkosaan.

Kesaksian lain mencatat pelaku kekerasan seksual menghentikan aksinya setelah mendengar korban berteriak dalam bahasa Bugis.

Hal ini membuat pelaku menyadari bahwa korban bukan berasal dari etnis Tionghoa.

Kisah Korban: Diperkosa di Taksi, Ditolong Warga

Buku tersebut juga memuat kisah korban kekerasan seksual yang merupakan seorang ibu dengan dua anak.

Ia diperkosa di dalam sebuah taksi dan diturunkan tanpa busana. Dalam kondisi trauma dan tanpa pakaian, ia berjalan ke rumah warga untuk meminta bantuan.

Meski mengalami kejadian traumatis, korban memilih tetap bekerja. Namun, dampak psikologis tak bisa dihindari.

Ia menunjukkan gejala disfungsi, seperti tidak mampu memasak meski tetap berbelanja. Suaminya pun sempat menolak menerima kenyataan bahwa istrinya menjadi korban kekerasan seksual.

“Bagi keluarga korban, peristiwa kekerasan seksual, khususnya perkosaan adalah kenyataan yang sulit diterima. Sebaliknya, peristiwa kekerasan tersebut justru menimbulkan ketegangan di dalam keluarga,” demikian tertulis dalam buku yang diterbitkan Komnas Perempuan.

Setelah melalui proses pendampingan, suami korban akhirnya menerima kenyataan. Keluarga tersebut memutuskan pindah ke luar negeri, mengganti identitas, dan memutus hubungan dengan pendamping.

Dalam dokumentasi Komnas Perempuan, dijelaskan bahwa banyak korban kekerasan seksual Mei 1998 memilih bungkam bukan karena kejadian tersebut hanya sekadar rumor, melainkan akibat ancaman nyata, termasuk dari keluarga sendiri.

“Keputusan perempuan korban kekerasan seksual Mei 1998 untuk bersikap membisu sangat dipengaruhi oleh lingkungan korban, yaitu sikap orang-orang di sekelilingnya. Skema 1 menunjukkan bahwa lingkungan terdekat dan yang paling mempengaruhi korban adalah keluarganya,” tulis laporan tersebut.

TGPF Sebut Ada 52 Kasus Perkosaan

Sementara itu, berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), terdapat sedikitnya 52 kasus pemerkosaan yang terjadi selama kerusuhan 13–15 Mei 1998.

Peristiwa ini dikategorikan sebagai perkosaan massal karena diduga dilakukan secara sistematis.

Namun, hingga saat ini, penggunaan istilah perkosaan massal Mei 1998 masih menimbulkan kontroversi di ruang publik.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dalam pernyataannya pada Senin (13/6/2025), menyampaikan pandangan kritis terhadap pelabelan tersebut.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini,” kata Fadli dalam keterangan tertulisnya.

“Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13–14 Mei 1998,” ucap dia.

Fadli menyebut bahwa hingga kini, belum ada data konklusif yang bisa membuktikan adanya sistematisasi dalam peristiwa tersebut.

“Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku,” ujarnya.

Menurut Fadli, dalam menyampaikan sejarah, penting untuk berpegang pada fakta hukum dan bukti yang telah teruji secara akademik.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” ujar dia.

Fadli menilai, istilah “massal” telah menjadi bahan perdebatan selama lebih dari dua dekade dan penggunaannya perlu kehati-hatian karena bisa berdampak pada citra kolektif bangsa.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13–14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujar Fadli.

SUMBER: (Penulis: Singgih Wiryono, Irfan Kamil / Editor: Robertus Belarminus)