Dedi Mulyadi Analisis Wajah Pengkritik Kebijakannya, Padahal Sudah Diingatkan Komnas Perempuan

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, jam masuk sekolah, Komnas Perempuan, DPRD Jawa Barat, Jam masuk sekolah, rombel 50 siswa, Dedi Mulyadi Analisis Wajah Pengkritik Kebijakannya, Padahal Sudah Diingatkan Komnas Perempuan

 Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang penambahan jumlah siswa per kelas menjadi 50 orang dan perubahan jam masuk sekolah menuai kritik tajam dari masyarakat, terutama dari para tenaga pendidik.

Kebijakan ini dinilai terlalu membebani guru dan berpotensi menurunkan kualitas proses pembelajaran di sekolah.

Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, Siti Muntamah Oded, mengungkapkan bahwa dalam kegiatan reses beberapa waktu lalu, ia menerima banyak keluhan dari guru-guru terkait kebijakan tersebut. Salah satu suara yang menonjol datang dari seorang guru sekaligus dosen, Popon Sumarni.

Apa Keluhan Guru terhadap Kebijakan Ini?

Popon menyampaikan kegelisahannya terhadap beban kerja yang semakin berat akibat kebijakan penambahan jumlah siswa dan perubahan jam masuk sekolah.

"Riweh pokokna mah, berbagai macam persoalan tuh numpuk. Ini harus ditambah 50 anak, rek kumaha ngajarna? Guru juga ada keterbatasan, apalagi tuntutan masuk jauh lebih pagi. Sekarang guru harus mendidik anak lebih giat, lebih pagi, ari anak sorangan teu kaurus," ucap Popon Sumarni dikutip dari akun instagram @dedimulyadi71.

Keluhan Popon mewakili keresahan banyak guru yang harus menghadapi tantangan mengelola kelas besar dan menyesuaikan jadwal kerja yang lebih dini, yang bisa berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup mereka.

Bagaimana Tanggapan Dedi Mulyadi?

Menanggapi keluhan Popon, Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan apresiasinya namun sekaligus menyentil cara penyampaian aspirasi tersebut.

“Buat ibu Popon Sumarni, saya mengucapkan terima kasih atas curhatnya dan saya sangat kagum terhadap ibu begitu mencintai pendidikan,” kata Dedi Mulyadi.

“Dan setelah saya menganalisis wajah ibu, ternyata seingat saya dan sepengetahuan saya, ibu adalah seorang dosen bukan seorang guru SMA,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Dedi berharap Popon Sumarni menyampaikanny di forum dosen, bukan dalam forum curhat di depan anggota DPRD.

"Sebaiknya ibu menyampaikan sebagai pengamat atau praktisi pendidikan yang bisa menyampaikan dalam bentuk narasi-narasi ilmiah yang disampaikan dalam forum ilmiah, tidak dalam forum curhat, seolah-olah ibu menggambarkan diri sebagai seorang guru SMA, padahal ibu adalah seorang dosen," beber Dedi Mulyadi.

Pernyataan Dedi ini menuai reaksi karena dianggap tidak merespons secara substansial kekhawatiran tenaga pendidik, tetapi malah meragukan legitimasi narasi Popon berdasarkan profesinya.

Apakah Ada Kritik Lain terhadap Gubernur Dedi Mulyadi?

Gubernur Dedi Mulyadi juga mendapat sorotan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terkait gurauan seksis yang pernah ia lontarkan.

"Kami mengimbau KDM (Kang Dedi Mulyadi) untuk berhenti dan tidak mengulangi candaan dan gurauan seksis yang ditujukan pada tubuh dan pengalaman perempuan dalam pelaksanaan tugas dan kesehariannya sebagai pejabat negara,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, Sabtu (26/7/2025), seperti dikutip dari Antara.

Menurut Dahlia, pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk menjaga tutur kata dan perilaku.

Gurauan seksis, meskipun dianggap candaan, sebenarnya merupakan bentuk kekerasan verbal yang melanggengkan budaya diskriminatif terhadap perempuan.

"Ucapan dan bahasa merupakan medium pikiran, ide, dan perasaan yang merefleksikan nilai-nilai sosial dan budaya serta pandangan seseorang. Candaan atau gurauan seksis justru dapat menjadi medium untuk memelihara pandangan-pandangan dan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan," ujarnya.

Komnas Perempuan juga menegaskan bahwa humor seksis merupakan bentuk kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Warga dapat saja melaporkan para pejabat negara yang tidak menjaga moral etisnya dalam menempatkan situasi yang seharusnya memberikan rasa aman, tetapi justru dapat memberikan situasi dan stereotipe terhadap perempuan," ucap Dahlia.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".