DPR Soroti Habis-habisan Masalah Klasik Haji 2025 yang Bikin Jemaah Sengsara

Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 secara umum berjalan lancar, namun masih menyisakan sejumlah isu krusial yang memerlukan evaluasi mendalam.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Fikri Faqih menyoroti pentingnya Indonesia sebagai negara dengan jemaah haji terbesar untuk proaktif melakukan evaluasi dan antisipasi demi perbaikan di masa mendatang.
Salah satu fokus utama adalah penertiban haji furoda ilegal. Komisi VIII DPR RI tengah merevisi undang-undang untuk memberikan perlindungan hukum bagi calon jemaah.
Fikri menegaskan bahwa calon jemaah harus waspada terhadap iklan haji tanpa antre yang berpotensi merugikan, mengingat ketatnya aturan visa haji dari Pemerintah Arab Saudi. Revisi undang-undang ini akan memuat sanksi yang jelas untuk praktik ilegal dan memprioritaskan perlindungan WNI.
Di sisi teknis, koordinasi dengan syarikah (perusahaan penyedia layanan di Tanah Suci) masih perlu ditingkatkan. Fikri mengusulkan agar satu embarkasi cukup dilayani oleh satu syarikah untuk menghindari miskomunikasi. Syarikah dengan reputasi buruk juga harus dievaluasi dan tidak dilibatkan lagi.
"Jangan sampai ada calon jamaah menuntut aparat penegak hukum lantaran tergiur oleh iklan-iklan yang menggiurkan ibadah haji tak perlu mengantri," tegas Fikri.
Berbagai masalah lapangan juga disoroti, seperti terpisahnya pasangan suami-istri dalam kelompok keberangkatan, pembimbing yang tidak bersama jemaahnya, serta kendala transportasi dari Muzdalifah ke Mina yang memaksa jemaah berjalan kaki di bawah suhu ekstrem. Persoalan transportasi, pemondokan, dan katering juga menjadi perhatian utama yang harus dibenahi.
Pemerintah Arab Saudi kini menerapkan digitalisasi haji dan umrah melalui aplikasi Masar Nusuk (sebelumnya Nusuk). Fikri menekankan pentingnya Pemerintah Indonesia mempelajari sistem ini agar undang-undang haji yang direvisi tidak bertentangan dengan kebijakan Arab Saudi. Hal ini untuk mencegah kerugian bagi jemaah yang sudah menunggu bertahun-tahun hanya karena ketidaktahuan.
Menyikapi berbagai permasalahan ini, Komisi VIII DPR RI berfokus pada revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Salah satu poin penting dalam pembahasan adalah lembaga penyelenggara haji di masa depan.
Fraksi PKS mengusulkan pembentukan Kementerian Haji agar memiliki otoritas penuh dan struktur yang kuat, setara dengan kementerian di Arab Saudi. Usulan ini berbeda dengan pandangan pemerintah yang menginginkan penyelenggaraan haji dilakukan oleh lembaga khusus, bukan lagi Kementerian Agama.
Fikri berharap semua catatan ini menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR dalam menyusun kebijakan demi kenyamanan dan keamanan jemaah haji Indonesia di masa mendatang.