Di Balik Evakuasi Juliana di Rinjani: Hujan Batu, Tidur di Tebing, dan Bertaruh Nyawa

Gunung Rinjani, Agam Rinjani, wisatawan Brasil, Juliana Marins, evakuasi Juliana Marins, Nusa Tenggara Barat, evakuasi juliana marins, wisatawan brasil terjatuh di rinjani, wisatawan brasil, Di Balik Evakuasi Juliana di Rinjani: Hujan Batu, Tidur di Tebing, dan Bertaruh Nyawa

Pendaki senior sekaligus relawan evakuasi Gunung Rinjani, Agam Rinjani, mengungkap tantangan berat yang dihadapi tim penyelamat saat mengevakuasi jenazah wisatawan Brasil, Juliana Marins.

Menurut Agam, medan evakuasi kali ini merupakan yang paling ekstrem sepanjang pengalamannya selama 9 tahun di Rinjani.

“Evakuasi kali ini adalah yang paling sulit yang pernah saya alami di Rinjani. Medannya curam, berbatu, dan semua batuan lepas. Ini jauh lebih berat dari evakuasi sebelumnya, seperti saat kasus WNA Israel jatuh dari puncak,” ujar Agam, dikutip dari @Podcast BicaraSanti di YIM Official, Sabtu (28/6/2025).

Kompas.com sudah meminta izin dan diperkenankan untuk menggunakan obrolan di podcast tersebut sebagai bahan pemberitaan.

Agam yang telah mengenal Rinjani sejak 2011 ini turut bergabung dalam operasi penyelamatan setelah mendapatkan kabar viral tentang keberadaan Juliana dari video drone yang menunjukkan korban masih hidup.

Ia langsung terbang dari Jakarta ke Lombok, membawa peralatan rescue tambahan termasuk tali sepanjang 1.300 meter.

Itu pun harus terjeda, karena keterbatasan jadwal penerbangan.

“Total tali yang kami pakai menggantung sekitar 1.300 meter, dengan cadangan 400 meter. Saya sudah siapkan anchor sejak empat tahun lalu. Setelah gempa, banyak jalur berubah. Harus dipasang lagi. Semua batuan lepas. Kami ngebor lagi dan turun,” jelasnya.

Proses evakuasi Juliana Marins

Gunung Rinjani, Agam Rinjani, wisatawan Brasil, Juliana Marins, evakuasi Juliana Marins, Nusa Tenggara Barat, evakuasi juliana marins, wisatawan brasil terjatuh di rinjani, wisatawan brasil, Di Balik Evakuasi Juliana di Rinjani: Hujan Batu, Tidur di Tebing, dan Bertaruh Nyawa

Agam Rinjani, seorang pemandu Gunung Rinjani saat diskusi di Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).

Agam bercerita bahwa proses evakuasi memakan waktu berhari-hari.

Mereka sempat bermalam dalam kondisi ekstrem, tidur dengan kemiringan 45 derajat di tebing, dan bertahan dari hipotermia akibat angin dan udara dingin Rinjani.

“Tidurnya miring, sleeping bag kemasukan udara juga. Kalau hujan atau longsor, bisa kena batu. Tenda dibawa tapi tidak bisa dipasang. Ini bukan evakuasi kaleng-kaleng,” ungkap Agam.

Pada awalnya tim sempat berdiskusi dan berencana untuk menurunkan Juliana melalui jalur danau di bawah.

Akan tetapi setelah diperhitungkan, menurunkan korban ternyata masih lebih jauh dibandingkan dengan mengangkatnya ke atas.

Dengan kondisi yang lebih ekstrem.

“Kami akhirnya putuskan untuk naikkan ke atas. Proses dari jam 6 pagi sampai jam 3 sore. Gantung terus selama 9 jam,” paparnya.

Kondisi medan jadi tantangan tim penyelamat

Gunung Rinjani, Agam Rinjani, wisatawan Brasil, Juliana Marins, evakuasi Juliana Marins, Nusa Tenggara Barat, evakuasi juliana marins, wisatawan brasil terjatuh di rinjani, wisatawan brasil, Di Balik Evakuasi Juliana di Rinjani: Hujan Batu, Tidur di Tebing, dan Bertaruh Nyawa

Peti jenazah Juliana Marins pendaki Brasil yang meninggal di Gunung Rinjani dibawa ke Bali untuk menjalani autopsi.

Agam mengakui sempat merekam momen evakuasi sebagai dokumentasi, namun ia akhirnya menghapusnya setelah ada keberatan dari pihak keluarga.

“Saya minta maaf, dan saya hapus semua foto tandu yang sempat saya ambil. Saya paham, mereka kecewa. Tapi ini bukan kesengajaan,” katanya.

Ia juga menanggapi kritik publik tentang keterlambatan evakuasi.

Menurutnya, tim penyelamat sudah berupaya maksimal, namun kondisi medan tidak memungkinkan untuk bergerak lebih cepat.

“Sempat ada yang komentar tim rescue lambat. Tapi ini persoalan medan. Kami bertaruh nyawa. Kami bawa bendera merah putih, supaya semangat. Ini soal kemanusiaan dan harga diri bangsa. NKRI harga mati,” tegas Agam.

Lebih lanjut, Agam mendorong agar pengelolaan keselamatan pendakian di Rinjani dibenahi secara sistematis.

“Sudah saatnya ada pembenahan. Taman nasional harus punya sistem rescue khusus. Harus ada koordinasi. Ini penting, bukan hanya untuk wisatawan, tapi juga keselamatan tim penyelamat,” pungkasnya.