Nyaris Bernasib Seperti Juliana Marins, Pendaki Irlandia Ungkap Bagaimana Bisa Selamat dari Jurang Gunung Rinjani

pendaki, Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, Juliana Marins, Lombok, nusa tenggara barat, Nyaris Bernasib Seperti Juliana Marins, Pendaki Irlandia Ungkap Bagaimana Bisa Selamat dari Jurang Gunung Rinjani, Kenangan Pendakian Ferrel di Gunung Rinjani, 6 Jam Berjuang Bertahan di Tebing Gunung Rinjani, Evaluasi Keselamatan Jalur Pendakian Rinjani, Pandangan Hidup yang Berubah

Paul Farrell, seorang pendaki asal Irlandia berusia 32 tahun, mengungkapkan pengalamannya berhasil selamat dari maut setelah terjatuh ke jurang di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, pada Oktober 2023 lalu.

Insiden itu nyaris merenggut nyawanya, mirip dengan tragedi yang menimpa Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang meninggal dunia setelah terjatuh di Gunung Rinjani pada Sabtu (21/6/2025) lalu.

Kenangan Pendakian Ferrel di Gunung Rinjani

Farrell memulai pendakiannya dari base camp pada pagi hari. Ia menyebut jalur awal cukup mudah dilalui.

Namun, menjelang puncak, medan menjadi semakin sulit.

“Tanah di sana berbeda, saya melangkah maju satu langkah tapi mundur dua langkah. Karena kami berada di gunung berapi, tanahnya berpasir dan kaki bisa tenggelam,” ungkap Farrell dalam wawancara bersama BBC News Brasil, dikutip dari KOMPAS.com, Jumat (27/6/2025).

Setelah mencapai puncak, ia terganggu oleh kerikil-kerikil kecil di dalam sepatunya.

Ferrel kemudian melepaskan sepatu kets dan sarung tangan untuk membersihkannya. Namun, hal tak terduga terjadi.

“Karena tidak nyaman, saya memutuskan untuk melepas sepatu kets untuk mengeluarkan kerikil. Saya juga melepas sarung tangan agar leluasa mencopot sepatu,” ujarnya.

Tak lama kemudian, embusan angin menerbangkan sarung tangannya ke arah tebing.

“Pada saat itu, saya berlutut. Tanah tempat saya berdiri runtuh begitu saja,” katanya.

Farrell terjatuh dari tebing sejauh sekitar 200 meter. Ia mengaku langsung masuk dalam mode bertahan hidup.

“Kecepatan saya jatuh makin cepat, adrenalin terpompa. Saya segera menyimpulkan bahwa saya bisa mati kapan saja,” ujarnya.

6 Jam Berjuang Bertahan di Tebing Gunung Rinjani

Dalam situasi genting itu, Farrell mencoba memperlambat laju jatuhnya dengan mencengkeram apa pun yang bisa digenggam.

“Saya mencoba menancapkan kuku dan tangan saya ke apa saja, hanya untuk memperlambat. Sampai saya melihat sebuah batu besar dan saya mencoba mengalihkan jalan saya ke arah batu itu,” ucapnya.

“Saya menabrak batu itu, tetapi untungnya saya berhasil menghentikan laju jatuh,” imbuhnya.

Setelah berhenti di kedalaman sekitar 200 meter, ia menyadari tubuhnya hanya mengalami luka dan goresan ringan. Meski begitu, posisinya masih sangat berbahaya.

“Meski begitu, saya tidak aman. Di tempat itu, saya bisa terpeleset kapan saja.”

Farrell mendaki bersama sekelompok orang, tetapi saat kejadian hanya satu pendaki wanita asal Perancis yang berada dekat dengannya.

“Saya berteriak sekuat tenaga agar dia mencari anggota tim lainnya dan meminta bantuan. Kemudian dia berlari kembali ke base camp dan memperingatkan orang-orang,” jelasnya.

Farrell bertahan di batu tersebut selama lima hingga enam jam sebelum tim penyelamat datang.

“Itu jelas pengalaman yang sangat menakutkan. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya bisa keluar dari sana hidup-hidup, atau hanya dengan beberapa tulang yang patah.”

“Sejujurnya, saya rela mematahkan lengan, kaki, atau semua tulang saya untuk keluar dari situasi itu. Jika saya perlu membuat perjanjian dengan Tuhan atau Iblis untuk keluar dari sana hidup-hidup, saya akan melakukannya,” ujar dia lagi.

Tim penyelamat yang mengevakuasinya berada di area sekitar karena sedang melakukan evakuasi jenazah korban lain di lokasi yang sama.

Evaluasi Keselamatan Jalur Pendakian Rinjani

Seusai peristiwa itu, Farrell mengungkap rasa syukur telah selamat.

“Saya sangat bersyukur dan bersemangat,” ungkapnya.

“Saya suka adrenalin dan olahraga ekstrem, tetapi situasi ini hampir membuat saya jera,” ujar dia.

Ketika ditanya mengenai aspek keselamatan pendakian di Rinjani, ia menyampaikan sejumlah usulan.

“Pertama-tama, saya ingin berduka cita atas meninggalnya Juliana dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarganya,” tutur Farrell.

“Terkait peningkatan [keamanan], kita perlu mempertimbangkan bahwa Indonesia adalah negara miskin dengan sedikit sumber daya. Namun, tentu saja harus ada lebih banyak uang diinvestasikan untuk meningkatkan keamanan di sana,” katanya.

“Mereka dapat menaikkan biaya yang dikenakan untuk mengunjungi lokasi tersebut.”

“Atau memastikan setiap kelompok memiliki setidaknya dua pemandu, sehingga salah satu dari mereka tetap berada di belakang dan dapat menawarkan semacam dukungan kepada orang-orang yang merasa tidak enak badan dan tertinggal, seperti yang terjadi pada Juliana,” saran Farrell.

Pandangan Hidup yang Berubah

Ketika ditanya apakah ia akan kembali mendaki Gunung Rinjani, Farrell menjawab mantap masih ingin ke sana lagi.

“Tidak diragukan lagi. Tapi saya akan lebih berhati-hati saat mendaki (Gunung Rinjani) kedua kalinya. Mendaki gunung adalah sesuatu yang ingin saya lakukan selama sisa hidup saya, selama saya masih mampu,” kata Farrell.

Ia mengaku bahwa pengalaman nyaris kehilangan nyawa itu telah mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan.

“Sangat jarang orang selamat dari kecelakaan seperti ini, sayangnya. Namun, ketika saya masih hidup setelah mengalami (jatuh di Gunung Rinjani), saya mulai berpikir tentang apa yang benar-benar penting,” katanya.

“Sejak kecelakaan saya, hubungan saya dengan Tuhan menjadi jauh lebih baik. Sekarang saya mencoba menjalani hidup dengan lebih selaras dengan nilai-nilai yang benar-benar penting bagi saya,” ujar dia lagi.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .