Cerita Muda-mudi yang Pilih Tunda Menikah, Merasa Tertinggal atau Justru Lega?

Di tengah hiruk pikuk Kota Jakarta, banyak anak muda kini memilih jalan hidup yang berbeda, yaitu menunda pernikahan meski dianggap sudah cukup umur.
Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta menunjukkan bahwa sebanyak 2.098.685 dari 7.781.073 jiwa penduduk Jakarta berusia 19 tahun ke atas belum menikah.
Data tersebut menunjukkan adanya 1.201.827 laki-laki dan 896.858 perempuan masih hidup lajang.
Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta, Denny Wahyu Haryanto, mengatakan salah satu alasan yang mendasari fenomena ini adalah tingginya tuntutan ekonomi di Jakarta.
“Aktivitas yang tinggi di Jakarta dikarenakan kebutuhan ekonomi, persaingan secara umum, karier hingga pendidikan. Hal ini berimplikasi terhadap penundaan pernikahan hingga sampai pada masalah enggan untuk menikah,” ujar Denny dikutip dari Antara, Sabtu (26/7/2025).
Tekanan soal menikah kerap dilontarkan oleh sanak saudara atau bahkan rekan terdekat.
Tak hanya itu, melihat teman sebaya menikah juga membuat sebagian orang merasa tertinggal.
Adakah perasaan tertinggal di tengah keputusan menunda pernikahan?
Tak buru-buru untuk menikah
Bagi Bernath (24), pernikahan bukan hal yang harus dikejar-kejar hanya karena lingkungan mulai menuntut.
“Kalo tertinggal sih enggak ada ya, karena memang kalo aku mikirnya nggak perlu buru-buru buat nikah,” kata Bernath saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Seorang karyawan swasta di Jakarta ini mengaku, tidak terburu-buru untuk menikah hanya karena melihat teman sebayanya sudah menikah lebih dulu.
Ia merasa, masih banyak hal yang harus ia pelajari untuk menjadi kepala keluarga yang mampu secara mental dan finansial.
“Menurut aku, persiapan untuk membangun keluarga bukanlah hal yang mudah, jadi masih harus terus belajar sampai bener-bener siap untuk membangun keluarga,” jelasnya.
Tingginya biaya hidup di Jakarta turut menjadi pertimbangan besar. Ia menyadari, membangun rumah tangga membutuhkan fondasi ekonomi yang stabil agar tak goyah di tengah jalan.
Belum menikah bukan berarti kalah langkah
Putri (24), seorang karyawan swasta di Jakarta, juga merasakan dinamika sosial yang tak jarang menyudutkan mereka yang memilih menunda menikah.
Ia mengaku kerap merasa tertinggal ketika melihat teman sebayanya sudah membangun bahtera rumah tangga.
“Kadang ada, itu manusiawi. Tapi aku juga sadar bahwa setiap orang punya waktu dan fase hidup yang berbeda,” ujar Putri saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (22/7/2025).
Tekanan sosial juga datang dalam bentuk komentar ringan atau perbandingan dari orang-orang sekitar.
Namun, Putri mencoba untuk tetap berpijak pada prinsipnya. Ia percaya, setiap orang punya rencana hidup masing-masing, sehingga tak perlu berlarut membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
“Yang terlihat bahagia belum tentu tanpa tantangan, dan yang belum menikah bukan berarti kalah langkah,” terangnya.
Bagi Putri, kesiapan emosional, mental, dan finansial adalah pondasi utama. Ia ingin pernikahan menjadi keputusan sadar, bukan sekadar formalitas sosial.
Pernikahan bukan ajang Ikut-ikutan
Desy (23) justru merasa tenang melihat teman-temannya telah menikah. Ia tidak merasa tertinggal, melainkan semakin yakin bahwa ia perlu menyiapkan diri dengan lebih matang.
“Alhamdulillah enggak pernah merasa tertinggal ketika ada teman yang sudah menikah, karena aku tahu bangun rumah tangga itu ibadah terpanjang dan harus dipersiapkan,” kata Desy saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Baginya, pernikahan bukan sekadar merayakan momen, tapi soal kesiapan membangun masa depan bersama pasangan.
Pekerja paruh waktu di Jakarta ini juga masih dalam tahap memperbaiki kondisi ekonomi dan mencari pekerjaan yang lebih stabil.
“Aku enggak ingin nikah hanya sekadar ikut-ikutan atau ngerasain euforianya saja, penginnya sudah siap dan matang, baru menikah.”