Alasan Anak Muda Indonesia Pilih Tunda Menikah meski Sudah Cukup Umur

Menikah seringkali dianggap sebagai tonggak penting, yang “idealnya” dicapai ketika seseorang telah memasuki usia dewasa muda.
Menurut data dari data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta, ada sebanyak 2.098.685 dari 7.781.073 jiwa penduduk Jakarta berusia 19 tahun ke atas belum menikah.
Data tersebut menunjukkan adanya 1.201.827 laki-laki dan 896.858 perempuan yang belum menikah.
Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta, Denny Wahyu Haryanto mengatakan, salah satu alasan warga Jakarta berusia 19 tahun ke atas menunda pernikahan adalah faktor ekonomi.
"Aktivitas yang tinggi di Jakarta dikarenakan kebutuhan ekonomi, persaingan secara umum, karier hingga pendidikan. Hal ini berimplikasi terhadap penundaan pernikahan hingga sampai pada masalah enggan untuk menikah," kata Denny dilansir dari Antara, Jumat (25/7/2025).
Bagi sebagian anak muda masa kini, menikah bukan sekadar memenuhi ekspektasi sosial atau pencapaian usia tertentu.
Di balik keputusan untuk menunda pernikahan, tersimpan banyak pertimbangan serius, terutama soal finansial dan kesiapan mental.
Ketika biaya hidup semakin tinggi dan tekanan hidup bertambah kompleks, sebagian generasi muda memilih menunda menikah demi memastikan bahwa mereka benar-benar siap.
Siap bukan hanya secara materi, tapi juga secara emosional, mental, bahkan spiritual.
Alasan anak muda pilih tunda menikah meski sudah cukup umur
Ingin stabil secara ekonomi dan siap jadi kepala keluarga
Ilustrasi anak muda pilih tunda menikah.
Bagi Bernath (24), pernikahan bukan perkara “kapan”, tetapi soal kesiapan yang matang dari segala sisi.
Ia memutuskan untuk menunda pernikahan karena ingin benar-benar siap memikul tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga.
Bahkan ia menaruh target untuk menikah ketika usianya sudah di rentang 27-29 tahun.
“Alasannya karena memang ingin pada saat sudah menikah sudah memiliki ekonomi yang stabil, pembelajaran terkait parenting juga, dan ingin belajar lebih siap untuk menjadi seorang kepala keluarga dulu,” ungkapnya saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Realitas hidup di kota besar membuatnya semakin sadar bahwa menikah tanpa persiapan finansial yang matang hanya akan menimbulkan tekanan baru.
“Biaya hidup menjadi faktor utama karena semakin banyaknya dan tingginya angka perekonomian saat ini membuat harus mengatur keuangan lebih bijak lagi,” tuturnya.
Laki-laki yang bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan di Jakarta ini menyadari, kehidupan setelah pernikahan akan jauh lebih kompleks, dan ia tidak ingin menjalani semua itu dengan terburu-buru.
Ia memilih untuk memantapkan diri, baik secara ekonomi maupun wawasan sebagai calon suami dan ayah.
Menikah butuh kesiapan emosional dan kemandirian finansial
Putri (24), seorang karyawan swasta di Jakarta, memandang pernikahan sebagai perjalanan jangka panjang yang membutuhkan kesiapan lebih dari sekadar cinta.
Ia menilai, harus mempersiapkan mental, emosional, dan finansial demi bisa membangun keluarga impiannya.
“Saat ini aku masih ingin fokus membangun diri, karier, dan memahami lebih dalam tentang apa yang aku butuhkan dalam sebuah hubungan jangka panjang,” jelas Putri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (22/7/2025).
Ia tidak ingin pernikahan menjadi beban, baik bagi dirinya maupun pasangannya.
Sebaliknya, ia ingin memastikan bahwa hubungan yang dibangun berdiri di atas fondasi yang kuat, terutama dari sisi ekonomi.
“Kemandirian finansial adalah salah satu prioritasku sebelum menikah,” tambahnya.
Putri percaya, menikah dalam kondisi belum stabil justru bisa merusak dinamika hubungan.
Maka ia memilih untuk tidak terburu-buru, dan menyiapkan segalanya dengan sadar dan perlahan.
Masih harus membenahi diri dan pekerjaan
Bagi Desy (23), pernikahan masih terasa jauh karena realitas hidup yang sedang ia hadapi belum sepenuhnya stabil.
Pekerja paruh waktu di Jakarta ini mengakui masih banyak hal yang harus ia pelajari sebelum akhirnya benar-benar siap membangun rumah tangga.
“Aku sadar masih banyak yang harus dibenahi dan dipelajari, misalnya gimana cara mengurus rumah tangga, mengelola keuangan, dan juga bekal untuk mengurus anak,” tuturnya kepada Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Lebih dari itu, kondisi finansial yang belum mapan menjadi faktor utama yang membuatnya menunda keinginan untuk menikah.
“Alasan utamanya tentu karena finansial aku yang belum stabil. Bahkan saat ini aku masih fokus cari pekerjaan yang lebih baik,” ucapnya.
Desy tidak ingin menikah hanya untuk merasa “aman” secara emosional, sementara dari sisi materi masih bergantung pada pasangan atau keluarga.
Ia pun merasa, tak memiliki target khusus untuk menikah. Namun, ia berharap dapat siap dalam berbagai aspek untuk menikah, sebelum berusia 30 tahun.
“Masih belum bisa membayangkan gimana caranya dengan penghasilan sekarang bisa membantu keuangan keluarga, tapi tetap punya tabungan darurat dan bisa membiayakan anak sekolah,” tambahnya jujur.
Menunda pernikahan bukan berarti takut akan komitmen
Kisah Bernath, Putri, dan Desy mencerminkan suara banyak anak muda hari ini.
Di tengah tuntutan ekonomi yang kian menekan, serta kesadaran akan pentingnya kesiapan mental dan emosional, menikah menjadi langkah besar yang tak bisa diambil sembarangan.
Menunda bukan berarti takut mencintai. Justru karena ingin cinta itu berjalan jauh, mereka memilih untuk menunggu, sampai saat mereka benar-benar siap, dari segala aspek.