Ketika "Kapan Nikah?" Jadi Tekanan, Ini Cerita Anak Muda Indonesia Menunda Menikah

Memasuki usia 20 tahun, salah satu pertanyaan yang kerap ditanyakan adalah, "Kapan nikah?". Namun, sebagian orang pilih menunda pernikahan akibat biaya hidup yang tinggi.
Berdasarkan data terbaru dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, terdapat 2,09 juta (2.098.685) penduduk dari total 7,78 juta (7.781.073) jiwa di kelompok usia tersebut yang masih melajang.
Dari jumlah itu, sebanyak 1,2 juta (1.201.827) adalah laki-laki, sementara 896.858 adalah perempuan.
Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta, Denny Wahyu Haryanto, menyebut bahwa salah satu alasan utama tingginya angka ini adalah faktor ekonomi.
"Aktivitas yang tinggi di Jakarta dikarenakan kebutuhan ekonomi, persaingan secara umum, karier hingga pendidikan. Hal ini berimplikasi terhadap penundaan pernikahan hingga sampai pada masalah enggan untuk menikah," kata Denny, dikutip dari Antara, Jumat (25/7/2025).
Fenomena ini mencerminkan perubahan prioritas generasi muda urban yang kini lebih mengutamakan stabilitas finansial, kemandirian, serta kesiapan mental dibanding sekadar mengejar target usia menikah.
Namun, pilihan untuk menunda menikah juga tak lepas dari tekanan sosial yang masih lekat dalam budaya Indonesia.
Cerita anak muda Indonesia yang menunda menikah
Dapat tekanan sosial untuk segera menikah
Keputusan beberapa anak muda di Indonesia untuk menunda menikah selalu disertai tekanan sosial dan pertanyaan "kapan nikah?". Ini cerita mereka.
Bernath (24), sudah lama memikirkan tentang pernikahan. Namun, baginya menikah adalah keputusan besar yang tak bisa diambil hanya karena desakan lingkungan.
Meski begitu, karyawan swasta sebuah perusahaan di Jakarta ini kerap mendapatkan pertanyaan soal pernikahan dari lingkungan sekitarnya.
Pertanyaan seperti "kapan menikah?" dan "kapan nyusul?" sering ia terima. Namun, pertanyaan seperti itu tidak ia masukkan ke dalam hati dan tidak dianggap serius.
“Untuk tekanan sebenarnya sih enggak ada ya, namun beberapa kali pertanyaan, ‘Kapan menikah?’ sering keluar, tapi bukan sebuah tekanan buat aku,” kata Bernath saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Awalnya tertekan oleh pertanyaan "kapan menikah?"
Keputusan beberapa anak muda di Indonesia untuk menunda menikah selalu disertai tekanan sosial dan pertanyaan "kapan nikah?". Ini cerita mereka.
Hal yang sama juga dialami oleh Putri (24). Pekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta ini juga memilih untuk tidak terburu-buru menikah.
Berbeda dengan Bernath, Putri kerap merasakan tekanan yang dari lingkungan sosial.
Awalnya, ia mengaku pertanyaan soal rencana menikah kerap membuatnya tertekan. Namun, seiring berjalannya waktu, ia tak mau ambil pusing untuk menanggapi pertanyaan tersebut.
“Tekanan itu ada, meski kadang tersirat. Misalnya dari pertanyaan-pertanyaan ringan saat kumpul keluarga, atau komentar dari sekitar yang menyiratkan bahwa usia segini seharusnya sudah menikah,” jelas Putri kepada Kompas.com, Selasa (22/7/2025).
Dibanding-bandingkan dengan yang sudah menikah
Keputusan beberapa anak muda di Indonesia untuk menunda menikah selalu disertai tekanan sosial dan pertanyaan "kapan nikah?". Ini cerita mereka.
Di sisi lain, Desy (23) sedang berada dalam masa transisi karier. Ia sadar, dengan penghasilannya saat ini, menikah bukanlah keputusan yang bisa ia ambil dalam waktu dekat.
Akan tetapi, tekanan pun datang dari sang ibu. Ia mengungkap, sang ibu kerap membandingkan dirinya dengan kakak laki-lakinya yang sudah menikah di usia 25 tahun.
“Tekanan pasti ada, khususnya dari ibu. Tapi bukan yang menggebu-gebu banget, karena ibu tahu saat ini aku masih fokus membangun karier dulu,” ujar Desy saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Bagaimana menghadapi desakan untuk segera menikah?
Dibawa santai
Keputusan beberapa anak muda di Indonesia untuk menunda menikah selalu disertai tekanan sosial dan pertanyaan "kapan nikah?". Ini cerita mereka.
Menanggapi pertanyaan atau tekanan lingkungan soal rencana menikah menjadi tantangan tersendiri.
Bernath memilih untuk menghadapinya dengan kepala dingin. Ia melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai hal yang tidak serius.
Ia menyadari, menikah butuh kesiapan yang jauh lebih dalam dari sekadar niat sehingga tak perlu merasa kecil hati karena tekanan sosial.
“Dibawa santai aja karena masih banyak pertimbangan terkait kesiapan untuk berkeluarga,” tutur Bernath.
Ia juga mengaku masih dalam proses mempersiapkan diri sebagai calon kepala keluarga, baik secara finansial maupun mental.
Percaya setiap orang punya waktunya masing-masing
Keputusan beberapa anak muda di Indonesia untuk menunda menikah selalu disertai tekanan sosial dan pertanyaan "kapan nikah?". Ini cerita mereka.
Sementara itu, Putri tak ingin hidupnya ditentukan oleh tekanan orang lain. Ia percaya bahwa setiap orang punya garis waktunya sendiri, dan pernikahan harus dijalani dengan penuh kesadaran.
“Aku mencoba untuk tetap tenang dan menjelaskan bahwa setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Menikah bukan lomba, dan aku ingin menjalaninya dengan kesadaran penuh, bukan karena tekanan,” terang Putri.
Putri mengaku masih fokus membangun karier dan memahami kebutuhan dirinya sendiri dalam hubungan jangka panjang.
Stabilitas finansial juga menjadi salah satu pertimbangannya sebelum menikah.
Tak dimasukkan ke hati
Desy menuturkan, sikap sang ibu yang membandingkannya dengan sang kakak memang hanya candaan keluarga saja.
Ia tak ingin memasukkannya ke hati atau menganggap candaan tersebut sindiran yang serius.
“Aku tahu tekanan soal nikah dari ibu itu candaan aja, jadi enggak aku bawa serius. Aku cenderung cuek sih sama tekanan tersebut,” tuturnya.
Menurut dia, sang ibu pun paham mengenai kondisinya saat ini yang masih bergulat dengan karir.
Dengan kondisi ekonomi saat ini, ia lebih memilih membangun fondasi hidup yang kuat dulu, termasuk menabung dan meraih kestabilan kerja.
“Dengan penghasilan sekarang rasanya kurang memungkinkan untuk mendukung kehidupan pernikahan juga, karena aku juga ingin punya tabungan meski sudah menikah," ucap Desy.
Kisah-kisah anak muda di atas menunjukkan bahwa tekanan sosial dari keluarga, pertemanan, dan lingkungan sekitar terus berdatangan seiring dengan keputusan untuk menunda pernikahan.
Akan tetapi, Bernath, Putri, dan Desy memilih merespons tekanan tersebut dengan cara mereka sendiri, tentunya sambil tetap berpegang teguh pada pendirian. Sebab, pada akhirnya, yang menjalankan pernikahan tersebut adalah mereka.