Tayang di Momen Sensitif, ‘Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba — Infinity Castle’ Tetap Laris Manis di Korea Selatan

sejarah rupanya tak memengaruhi penjualan tiket film animasi Jepang Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba — Infinity Castle di Korea Selatan. Film ini mencatat penjualan tiket prarilis yang mengesankan di ‘Negeri Ginseng’. Penjualan ini menunjukkan antusiasme tinggi meski film dirilis di tengah suasana sensitif saat Hari Pembebasan Nasional, hari yang memperingati berakhirnya penjajahan Jepang pada 15 Agustus.
Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba — Infinity Castle dijadwalkan tayang pada 22 Agustus di Korsel, hanya beberapa hari setelah peringatan bersejarah tersebut. Waktu penayangan ini menambah lapisan kompleksitas budaya dan sejarah dalam penerimaan publik Korea. Namun, banyak penggemar animasi populer yang diadaptasi dari komik ini berpendapat bahwa karya budaya sebaiknya dinilai dari kualitasnya, tanpa harus selalu dikaitkan dengan isu sejarah atau politik.
Berdasarkan data Dewan Film Korea, film ini telah melampaui 320.000 tiket prapesan dengan total 321.806 tiket terjual hingga Selasa (12/8), menjadikannya film nomor satu dalam daftar pemesanan tiket.
Angka itu mencerminkan besarnya basis penggemar dan tingginya ekspektasi terhadap film yang diadaptasi dari manga laris karya Koyoharu Gotouge tersebut. Serial komik aslinya telah terjual lebih dari 220 juta kopi di seluruh dunia. Ceritanya mengikuti perjalanan Tanjiro Kamado, seorang anak lelaki yang keluarganya dibantai iblis. Ia berusaha mengembalikan adiknya, Nezuko, yang berubah menjadi iblis, kembali menjadi manusia.
Kesuksesan ini melanjutkan tren popularitas Demon Slayer di Korea. Film pendahulunya, Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the Movie — Mugen Train, menarik lebih dari 2,18 juta penonton pada 2021. Dengan Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba — Infinity Castle yang menandai awal dari arc terakhir seri ini, kehadiran besar dari para penggemar setia diperkirakan akan terjadi.
Meski begitu, popularitas film ini tak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak menyoroti latar waktu film yang berada di era Taisho Jepang (1912–1926). Periode itu dikaitkan dengan imperialisme Jepang. Selain itu, desain anting karakter utama Tanjiro juga disorot, disebut-sebut menyerupai bendera Matahari Terbit. Unsur-unsur ini memicu perdebatan mengenai sensitivitas budaya, apalagi film ini dirilis berdekatan dengan Hari Pembebasan Nasional.
Sebuah acara promosi baru-baru ini juga dibatalkan karena kritik publik. Rencana menghadirkan karakter Tanjiro dan Nezuko untuk melempar bola pertama pada pertandingan Liga Baseball Profesional Korea (KBO) dibatalkan akibat kecaman. Kasus ini menyoroti ketegangan antara besarnya popularitas film dan konteks sejarah yang membuat sebagian warga Korea merasa tidak nyaman.
Meski ada isu-isu tersebut, banyak orang berpendapat bahwa film hanyalah film dan menganggap sudah ketinggalan zaman untuk menilai sebuah karya berdasarkan asal negaranya.(dwi)