Penembakan di Incheon, Korea Selatan, Polis Sebut ‘Kejahatan Terencana yang Didorong 'Delusi'

Penembakan di Incheon, Korea Selatan, Polis Sebut ‘Kejahatan Terencana yang Didorong 'Delusi'

pria berusia sekitar 60 tahun menembak mati anaknya. Insiden penembakan yang terjadi di Incheon pada 20 Juli lalu ini mengejutkan Korea Selatan. Apalagi saat diketahui pelaku telah merakit senjata sendiri. Pihak polisi, dalam pernyataan pada Senin (28/7) menyebut aksi itu didorong delusi yang telah lama ia pendam. Pelaku secara cermat merencanakan kejahatan tersebut selama hampir setahun.

Tersangka berusia 62 tahun, bermarga A, diketahui menembak mati putranya yang berusia 33 tahun dan melepaskan tembakan tambahan ke arah seorang asisten rumah tangga yang mencoba melarikan diri di sebuah kompleks apartemen di Songdo pada 20 Juli.

Dalam konferensi pers, Kepolisian Incheon mengumumkan pada Selasa bahwa A akan dilimpahkan ke jaksa pada Rabu dengan sejumlah dakwaan, termasuk pembunuhan, percobaan pembunuhan, dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pengendalian Senjata Api, Pedang, dan Bahan Peledak.

Polisi menyimpulkan kejahatan ini dilakukan secara terencana, bukan insidental. Penyelidik menyatakan A memiliki delusi mendalam, meyakini ia masih bagian dari keluarganya meskipun telah bercerai dari mantan istrinya sejak 1999. Ia juga merasa terasing setelah putranya menikah pada 2015 lalu mengklaim keluarganya berkonspirasi untuk mengucilkannya.

“Ia percaya bahwa mantan istri dan putranya bersekongkol untuk menjebaknya,” kata seorang petugas.

Penyelidik mengatakan A mulai merakit senjata api pada Agustus 2023 setelah menonton video tutorial secara daring. Ia memesan suku cadang, menguji senjata tersebut secara berulang di rumah, dan bahkan bereksperimen dengan bahan peledak karena khawatir suara tembakan akan menarik perhatian tetangga.

“Ia memilih hari ulang tahunnya sendiri untuk melakukan serangan karena percaya senjatanya sudah siap,” kata polisi, dikutip The Korea Times. Polisi juga menyatakan A menganggap pistol lebih efektif daripada pisau karena tidak memerlukan kontak dekat.

A melepaskan empat tembakan, dua di antaranya diarahkan ke asisten rumah tangga saat mencoba kabur. Polisi juga menemukan empat laras senjata, 15 butir peluru, dan dua perangkat pemicu di kediamannya. Ia kemudian menghadang menantunya dan cucu-cucunya di dalam ruangan terkunci. Hal itu menyebabkannya mendapat tuduhan percobaan pembunuhan tambahan.

Meski A mengaku hanya berniat membunuh putranya, pihak berwenang mengatakan jumlah senjata dan amunisi yang dimilikinya menunjukkan niat yang lebih luas. Mereka juga menyebut A mungkin akan dikenai dakwaan tambahan atas penggunaan bahan peledak, tergantung pada hasil analisis forensik terhadap perangkat yang disita.

Meskipun polisi menyebut kejahatan tersebut berakar pada ‘delusi’, para pakar memperingatkan bahwa alasan ini mungkin akan diperdebatkan di pengadilan. Pasalnya, A tidak memiliki riwayat gangguan kejiwaan yang membuat argumen jaksa menjadi lebih rumit.

O Yoon-seong, profesor administrasi kepolisian di Universitas Soonchunhyang, mengatakan, jika delusi diakui, itu bisa dianggap sebagai bentuk berkurangnya tanggung jawab dan mengarah pada pengurangan hukuman.

“Tanpa evaluasi psikiatri, patut dipertanyakan keputusan polisi yang menyatakan hal tersebut,” ujar Yoo-seong.(dwi)