Cara Membantu Remaja Meregulasi Emosi, Dengarkan Tanpa Menghakimi

Masa remaja adalah perubahan besar, baik secara fisik maupun emosional. Terkadang remaja yang tadinya ceria tiba-tiba menjadi mudah marah, sering berdiam diri, atau menutup diri dari lingkungan sehingga membuat orang dewasa bingung.
Menurut Rhaka Ghanisatria, Co-Founder Menjadi Manusia, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah membantu remaja meregulasi emosi sebelum mencari solusi lebih jauh.
“Untuk pada akhirnya bisa mengontrol diri, meregulasi emosi kan sesimpel mengolah napas, kemudian grounding sambil pegang yang terdekat,” ujar Rhaka dalam Gebyar Mental Sehat Anak Remaja Indonesia oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Salah satu cara yang disarankannya adalah latihan pernapasan sederhana yang bisa dilakukan kapan saja. Teknik ini dikenal dengan nama 4-7-8 breathing method.
“Kita tarik napas selama empat detik, tahan tujuh detik, buang delapan detik. Ini sudah back by science juga yang dikeluarkan sama beberapa orang ya. Secara teknik ini memang meregulasi neural system kita,” jelas Rhaka.
Latihan ini tidak membutuhkan alat apa pun dan bisa dilakukan di rumah, di sekolah, atau di transportasi umum. Dengan mengatur napas, detak jantung melambat dan tubuh mulai mengirim sinyal untuk menenangkan pikiran.
“Sesimpel itu, tapi efeknya bisa langsung terasa,” tambahnya.
Menghadapi emosi remaja
Dengarkan dulu, jangan langsung memberi solusi
Rhaka Ghaniasatria, Co-founder Menjadi Manusia, membagikan cara sederhana mengatur emosi remaja berkaitan dengan kesehatan mental.
Selain mengajarkan teknik relaksasi, Rhaka menekankan pentingnya membangun komunikasi yang sehat. Banyak remaja enggan bercerita kepada orangtua atau orang terdekat karena takut dihakimi atau dianggap lemah.
“Mungkin fokusnya adalah bukan kepada solusi, tapi kepada sebagai pendengar. Kadang orang enggak butuh solusi, tapi kita selalu come up dengan sebuah conclusion,” kata Rhaka.
Ia mencontohkan, ketika remaja mulai bercerita, orang dewasa sering langsung memotong dengan saran seperti “harusnya kamu begini” atau “coba lakuin ini”.
Padahal sering kali remaja hanya butuh didengarkan terlebih dahulu. Mendengarkan tanpa memotong atau menilai, bisa membuat mereka merasa lebih aman untuk membuka diri.
Pentingnya keluarga bagi remaja
Keluarga jadi faktor remaja rentan alami gangguan mental
Anak Remaja mudah marah atau menutup diri? Coba metode sederhana seperti latihan napas 4-7-8 dan dengarkan mereka tanpa memberi solusi instan.
Bagi Rhaka, faktor terbesar yang membuat remaja rentan mengalami gangguan mental ada di lingkungan keluarga.
“Keluarga, karena kan kita enggak bisa menyalahi orangtua kita dengan pola asuh mereka. Mereka enggak seterbuka itu sama informasi kayak kita sekarang. Tapi rumah itu fondasi dari semuanya,” terangnya.
Ia melanjutkan, rumah yang hangat akan membentuk pribadi yang hangat, sedangkan rumah yang keras akan membentuk juga pribadi yang keras. Luka dari keluarga dapat terbawa keluar rumah, memengaruhi cara remaja berinteraksi dengan orang lain.
“Ketika orang itu keluar, punya luka dari keluarganya, dia bisa aja nge-bully orang, dia bisa i mukul orang lain,” kata Rhaka.
Masalah percintaan atau ekonomi memang bisa memicu stres, tetapi menurutnya akar yang paling kuat berasal dari dinamika di rumah.
Tanda stres remaja berubah jadi masalah serius
Perhatikan jika sudah mengganggu kehidupan sehari-hari
Anak Remaja mudah marah atau menutup diri? Coba metode sederhana seperti latihan napas 4-7-8 dan dengarkan mereka tanpa memberi solusi instan.
Rhaka mengingatkan, tidak semua stres yang dialami remaja berarti mereka mengalami gangguan mental. Namun, ada tanda-tanda yang patut diwaspadai.
“Kata kuncinya kalau dari saya, sudah mengganggu kehidupan sehari-hari,” ucapnya.
Misalnya, pola tidur berubah drastis, dari biasanya tidur pukul sembilan atau 10 malam menjadi tidur sampai subuh. Akibatnya, mereka sulit bangun pagi hari dan kehilangan semangat untuk beraktivitas.
“Enggak bisa bangun dari tempat tidur karena udah depresi, itu bisa jadi tanda serius,” tambahnya.
Ketika hal ini terjadi, diperlukan perhatian ekstra dan, bila perlu, bantuan profesional.
Tantangan kesehatan mental remaja saat ini
Dari pengalamannya di Menjadi Manusia, Rhaka melihat tantangan terbesar remaja pada era digital saat ini adalah meningkatnya risiko bunuh diri.
Tekanan dari media sosial, perbandingan diri dengan orang lain, dan paparan konten yang memicu pikiran negatif membuat remaja semakin rentan. Di sinilah peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat dibutuhkan untuk menjadi ruang aman bagi mereka.
Bagi Rhaka, membangun kesehatan mental remaja tidak cukup mengandalkan sekolah atau fasilitas publik. Dukungan utama tetap berasal dari keluarga.
Dengan keterampilan sederhana seperti mengatur napas, mendengarkan tanpa menghakimi, dan mengenali tanda bahaya, remaja bisa memiliki fondasi yang lebih kuat untuk menghadapi gejolak emosi masa depannya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!