Remisi Ronald Tannur Picu Polemik, Eks Wamenkumham: Bisa Digugat, Tapi Akar Masalahnya Duitokrasi

Terdakwa Gregorius Ronald Tannur saat jalani persidangan di PN Surabaya.
Terdakwa Gregorius Ronald Tannur saat jalani persidangan di PN Surabaya.

 Polemik pemberian remisi kepada Gregorius Ronald Tannur, terpidana kasus kematian Dini Sera Afriyanti, terus menuai sorotan publik.

Ronald diketahui mendapat remisi 4 bulan dalam momentum HUT ke-80 Republik Indonesia, yang memunculkan gelombang kritik lantaran kasusnya sejak awal sudah penuh kontroversi.

“Iya, betul, yang bersangkutan (Ronald Tannur) mendapatkan remisi umum satu bulan dan remisi dasawarsa tiga bulan,” kata Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Rika Aprianti, Senin 18 Agustus 2025 dikutip Antara.

Ronald Tannur sebelumnya sempat divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan putusan itu setelah mengabulkan kasasi Kejaksaan dan menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun.

Belakangan, majelis hakim PN Surabaya yang memutus bebas Ronald terbukti menerima suap dari pihak keluarga terdakwa.

Meski sudah terbukti bersalah, remisi untuk Ronald kembali menjadi sorotan. Pasalnya, publik menilai pemberian keringanan hukuman kepada pelaku kasus penganiayaan berat dan kematian menambah luka bagi keluarga korban serta mencederai rasa keadilan.

Menanggapi hal ini, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) 2011–2014, Denny Indrayana, menegaskan bahwa remisi merupakan keputusan tata usaha negara (TUN) yang bisa digugat.

Wamenkumham 2011–2014, Denny Indrayana

Wamenkumham 2011–2014, Denny Indrayana

“Sebagai satu keputusan tata usaha negara, keputusan pejabat publik, keputusan TUN ini tentu itu bagian dari objek TUN yang bisa digugat ke peradilan tata usaha negara. Tetapi siapa yang menggugat, legal standing-nya seperti apa itu juga menjadi perdebatan. Dan biasanya dulu ada grasi yang digugat karena diberikan kepada bandar narkoba,” kata Denny, Selasa 19 Agustus 2025 dikutip tvOne.

Ia menyebut, putusan PTUN terkait gugatan seperti ini biasanya beragam. Namun menurutnya, peluang untuk menggugat tetap terbuka, baik oleh korban maupun LSM yang konsen terhadap isu keadilan hukum.

“Poinnya adalah langkah hukum bisa dilakukan, dan apakah itu korban atau LSM yang punya konsen dengan persoalan ini ya bisa saja maju sebagai penggugat di hadapan peradilan tata usaha negara. Tapi bagi saya persoalannya bukan apa langkah-langkah hukum normal begitu. Bagi saya persoalannya remisi ini adalah ujung dari akar masalah kita, yang salah satu utamanya adalah bagaimana kita membangun demokrasi kita,” tegasnya.

Denny menilai, persoalan remisi bukan hanya soal aturan teknis hukum, melainkan berkaitan erat dengan rusaknya demokrasi akibat dominasi uang. Ia menggunakan istilah duitokrasi untuk menggambarkan kondisi ini.

“Akar masalahnya adalah bagaimana negara hukum kita sudah tidak berdiri lagi di pilar-pilar demokrasi tapi duitokrasi. Dolat uang, bukan dolat rakyat. Ini berimbas ke semua aspek. Remisi yang semacam ini yang masih menimbulkan perdebatan karena publik distrust, tidak ada kepercayaan, itu adalah ujung dari masalah aliran kotor ini. Gagal ginjal pemilu kita, harusnya pemilu itu menghadirkan darah bersih, tapi yang dihadirkan adalah justru darah kotor,” kata Denny.

Istilah duitokrasi yang disampaikan Denny merujuk pada situasi ketika demokrasi tidak lagi dijalankan berdasarkan kedaulatan rakyat, melainkan dikendalikan oleh kekuatan uang.

Akibatnya, berbagai kebijakan publik termasuk proses hukum, rentan dipengaruhi oleh kepentingan finansial dan transaksi gelap.

Ia bahkan menyinggung praktik mafia hukum yang masih merajalela, baik di lapas maupun di berbagai lini penegakan hukum.

“Siapa yang bisa menjamin kalau remisinya diberikan dengan jual beli? Siapa yang bisa jamin putusan TUN-nya tidak bisa dijual beli juga? Dan praktik mafia hukum kita itu bukan hanya di lapas, itu dari semua proses hukum. Kami pernah di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Semua praktik penegakan hukum kita tercemar dengan jual beli perkara semacam ini,” tuturnya.

Dengan kondisi tersebut, Denny menegaskan perjuangan untuk membersihkan penegakan hukum dari praktik transaksional masih jauh dari kata selesai.