Sejarah Cita Rasa Pedas di Nusantara, dari Cabya Jawa hingga Cabai Capsicum

Hampir semua kajian tentang sejarah cabai (Capsicum sp) menyebut bahwa tanaman ini berasal dari benua Amerika dan kemudian menyebar ke berbagai wilayah dunia.
Di Nusantara, kemungkinan besar cabai dibawa melalui bangsa Portugis dan Spanyol.
Namun, pertanyaan menarik muncul, apakah benar sensasi pedas di Nusantara baru hadir setelah kedatangan cabai dari Amerika?
Fakta sejarah menunjukkan bahwa cita rasa pedas di Nusantara sudah dikenal jauh sebelum cabai Capsicum diperkenalkan bangsa Eropa pada abad ke-16.
Era Pra-Sambal di Jawa Kuno
Ahli arkeologi Jawa Kuno dari Leiden University, Prof H.I.R. Hinzler, dalam publikasi Eten en drinken in het Oude Java (2005), menyebut bahwa periode sebelum tahun 1600 merupakan era “pra-sambal”.
“Het oude Java bedoel ik de periode van voor 1600. Dit was het pre-sambal tijdperk, waarin de kleur die in het voedsel overheerste geel - door de turmeric of geelwortel - en niet rood was,” tulis Hinzler.
Pernyataan ini menegaskan bahwa pada masa Jawa Kuno, kuliner tidak ditandai dengan warna merah cabai, melainkan kuning dari kunyit. Sensasi pedas bukan berasal dari cabai, melainkan dari rimpang (rhizoma) seperti jahe, kencur, dan laos.
Dalam naskah sastra Kakawin Bhomantaka, misalnya, disebutkan adanya sambal berbahan dasar jahe, yang dikenal dengan sebutan sambel jahe (Haryono, 1997: 59).
Kandungan gingerol dalam jahe memberi sensasi pedas-hangat yang kala itu menjadi sumber utama rasa pedas masyarakat Jawa Kuno.
Cabya, Si Pedas dari Jawa
Ilustrasi cabai jawa.
Sebelum cabai Capsicum masuk ke Nusantara, masyarakat Jawa Kuno telah mengenal tanaman bernama cabya (Piper retrofractum Vahl). Tanaman ini masih sekerabat dengan lada dan sirih, serta berfungsi sebagai rempah pemberi rasa pedas.Menurut Kamus Jawa Kuno–Indonesia karya P.J. Zoetmulder dan Robson (1997), istilah cabya sudah muncul dalam prasasti dan naskah abad ke-10 M.
Arkeolog Timbul Haryono (1997) juga mencatat cabya sering digunakan dalam berbagai olahan pedas, baik dalam bentuk sambal maupun sebagai bumbu tambahan.
Masyarakat kala itu menyebutnya cabya Jawa atau lombok, yang digunakan dalam berbagai olahan bercita rasa pedas.
Namun, pamornya mulai meredup ketika lada dari India masuk ke Nusantara pada masa perdagangan rempah abad ke-13 hingga ke-16.
Sambal di Masa Kuno
Meski kini identik dengan cabai, sambal di masa kuno justru tidak berbahan Capsicum. Kata “sambal” sendiri berasal dari serapan bahasa Melayu, bukan Jawa Kuno.
Menurut Hinzler (2005), sambal kuno lebih merujuk pada campuran rempah dan bawang yang diulek dan dicampur ke dalam masakan. Dalam naskah kuliner Bali Dharma Caruban, misalnya, terdapat tiga kategori bumbu utama:
- Basa: bumbu dasar dari jahe, laos, kencur, dan ketumbar.
- Sambel: terdiri dari bawang merah, bawang putih, lada, terasi, garam, kencur, dan gula.
- Jejaton: bumbu penambah rasa, dengan bahan seperti asam, air jeruk limau, cabya Jawa, hingga rempah lain.
Hidangan pedas populer kala itu adalah penet (penget), yakni masakan daging atau ikan dengan kuah rempah pedas.
Dalam Bhomakawya disebutkan, “Penget yang rasanya pedas membuat hangat penikmatnya.”
Penjelasan ini menegaskan bahwa rasa pedas pada masa itu bukan berasal dari cabai Capsicum, melainkan cabya, jahe, atau lada.
Lada dari India dan Perdagangan Rempah
Ilustrasi lada putih dan lada hitam.
Memasuki masa perdagangan rempah (abad ke-13–16), lada (Piper nigrum) dari India mulai menjadi primadona baru dalam kuliner Nusantara.Lada dibawa melalui jalur perdagangan laut dari kawasan Ghats, India, dan menjadi komoditas berharga yang diperdagangkan ke berbagai wilayah Nusantara.
Seiring meningkatnya pamor lada, cabya Jawa mulai tersisih. Namun, situasi kembali berubah saat cabai Capsicum dari Amerika dibawa Portugis dan mulai dibudidayakan di Nusantara pada abad ke-16.
Kedatangan Cabai Capsicum ke Nusantara
Meski sulit dilacak secara pasti, banyak sejarawan meyakini cabai Capsicum dibawa Portugis dari Amerika melalui India sebelum masuk ke Nusantara.
Portugis dikenal kerap menanam berbagai tanaman pangan, termasuk cabai, di benteng pertahanan dan kebun koloninya.
Pengaruh budaya India juga ikut mempercepat penyebaran cabai di Nusantara.
Pedagang India yang membawa Islam ke Sumatera Barat diduga memperkenalkan kuliner pedas berbasis cabai. Tak heran bila masakan Minangkabau kemudian dikenal sangat pedas.
Namun, catatan awal Portugis seperti Summa Oriental karya Tome Pires (1515–1521) maupun catatan Antonio Pigafetta (1519) tidak menyebut cabai secara eksplisit.
Pires hanya menulis tentang beras, sayur, daging, dan lada. Hal ini membuat jejak masuknya cabai ke Jawa tetap sulit dipastikan.
Perubahan Selera, dari Lada ke Cabai
Fakta sejarah menunjukkan bahwa cita rasa pedas di Nusantara sudah dikenal jauh sebelum cabai Capsicum diperkenalkan bangsa Eropa pada abad ke-16.
Perubahan selera masyarakat Nusantara terekam dalam laporan Residen Padang, Hubert Joseph Jean Lambert Ridder de Stuers (1850). Ia mencatat komentar masyarakat Minang yang menilai cabai lebih nyaman: “Pedas di mulut, sejuk di lambung, sedangkan lada hitam membuat panas mulut dan perut.”Sejak saat itu, cabai Capsicum naik pamor sebagai primadona baru pemedas kuliner Nusantara, sementara lada hanya bertahan dalam peran tertentu.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, variasi sambal makin beragam dan populer. Dalam catatan Augusta de Wit (1897), orang Eropa di Batavia begitu antusias mencicipi sambal dalam hidangan rijsttafel.
Bahkan, muncul nama-nama unik seperti sambel brandal, sambel serdadoe, sambel budak, hingga sambel setan. Catenius van der Meijden, dalam bukunya Makanlah Nasi! (1922), menyebut sambal sebagai “pencuci mulut yang rasanya panas” (de heete toespijzen).
Menariknya, kata cabai yang digunakan masyarakat Indonesia saat ini sejatinya berasal dari istilah kuno cabya.
Sementara di Sunda, istilah “lada” justru dipakai untuk menyebut rasa pedas, bukan sekadar tanaman lada.
Jejak istilah pedas juga ditemukan dalam naskah Jawa Kuno seperti Subhadrawiwaha dan Sumanasantaka (abad ke-13), yang tidak hanya merujuk pada rasa makanan, tetapi juga kiasan untuk perkataan yang tajam.
Kedatangan Cabai Capsicum ke Nusantara
Meski tidak ada catatan jelas dalam dokumen awal seperti Summa Oriental karya Tome Pires (1515–1521) atau Magellan’s Voyage oleh Antonio Pigafetta (1519), sejumlah ahli menduga Portugis membawa cabai dari Amerika ke Asia, termasuk ke India dan kemudian Nusantara.
Pengaruh budaya India yang masuk bersama para pedagang Muslim juga diduga mempercepat pengenalan cabai ke wilayah seperti Sumatera Barat yang dikenal dengan kuliner pedasnya.
Kini, cabai Capsicum menjadi primadona pedas di Nusantara, hadir dalam berbagai jenis seperti cabai rawit (Capsicum frutescens), cabai merah keriting (Capsicum annuum), dan cabai hijau.
Jejak Kata dan Identitas Pedas Nusantara
Ilustrasi sambal pete.
Kata “cabai” yang kita kenal sekarang sejatinya berasal dari istilah kuno “cabya”. Meski cabya Jawa kini jarang digunakan dan lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan jamu, namanya tetap abadi melalui cabai Capsicum.Di Jawa, istilah “pedhes” merujuk pada sensasi pedas. Di Sunda, kata “lada” bahkan dipakai untuk menyebut rasa pedas, bukan sekadar tanaman lada.
Hal ini menunjukkan bahwa rasa pedas telah menjadi bagian dari budaya bahasa dan kuliner masyarakat Nusantara sejak lama.
Jejak istilah “pedas” bahkan muncul dalam naskah Jawa Kuno seperti Subhadrawiwaha dan Sumanasantaka karya Mpu Monaguna (abad ke-13), di mana pedas dipakai sebagai metafora untuk perkataan yang tajam sekaligus rasa makanan.
Kini, cabai Capsicum menjadi bahan utama berbagai kuliner Nusantara, mulai dari rendang, gulai, kari, hingga aneka sambal.
Variasi sambal yang begitu banyak, dari sambal lado Minang, sambal oncom Sunda, sambal kencur Banyumas, sambal kluwak Jawa Timur, hingga sambal matah Bali, menunjukkan betapa pedas telah menjadi identitas kuliner Indonesia.
Jenis cabai yang populer di Indonesia pun beragam, antara lain:
- Cabai rawit (Capsicum frutescens) yang dikenal super pedas.
- Cabai merah keriting (Capsicum annuum) yang memberi warna dan rasa khas.
- Cabai hijau (Capsicum annuum var. annuum) yang sering dipakai dalam tumisan dan sambal ijo.
Dengan perjalanan sejarah yang panjang, jelas bahwa rasa pedas di Nusantara bukan semata hadiah dari cabai Amerika, melainkan hasil akumulasi kearifan lokal sejak masa Jawa Kuno yang memanfaatkan cabya, jahe, dan lada.
Namun, sejak abad ke-16, cabai Capsicum menjadi primadona baru yang memperkuat identitas kuliner Nusantara hingga kini.
Tulisan ini dikutip dari buku dengan judul "Kuliner Cita Rasa Pedas, Gigitan Nikmat yang Selalu Memikat
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!