Solidaritas Panas: Korea Utara Janji Dukung Iran Jika Gencatan Senjata Dilanggar

Konflik di Timur Tengah kembali menjadi sorotan dunia ketika Israel melancarkan serangan militer terhadap Iran pada pertengahan 2025. Situasi ini memicu beragam reaksi internasional, salah satunya datang dari Korea Utara (Korut) yang dengan tegas menunjukkan keberpihakan pada Iran. Dukungan tersebut tidak hanya berhenti pada pernyataan diplomatik, tetapi juga mencakup janji bantuan militer, hingga mengingatkan kembali sejarah panjang hubungan kedua negara.
Kecaman Politik dan Diplomatik
Pada 19 Juni 2025, Korut secara resmi mengecam keras serangan Israel yang diarahkan ke berbagai fasilitas penting di Iran. Serangan tersebut dilaporkan menyasar wilayah sipil, infrastruktur energi, hingga instalasi nuklir. Dalam pernyataannya, pemerintah Korut menyebut tindakan Israel sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dapat dimaafkan”. Tidak hanya itu, Korut juga menilai serangan tersebut sebagai bentuk “terorisme yang disponsori negara”.
Pernyataan yang dilansir oleh beberapa media internasional itu memperingatkan bahwa agresi Israel berpotensi memicu perang besar-besaran di kawasan Timur Tengah. Menurut Korut, jika konflik meluas, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Iran, tetapi juga akan mengganggu stabilitas regional maupun global.
Selain mengecam tindakan Israel, Pyongyang juga menyoroti dukungan Amerika Serikat serta sejumlah negara Barat yang dinilai memperkeruh keadaan. Bahkan, Korut menyebut Israel sebagai “entitas seperti kanker” yang dianggap mengancam perdamaian kawasan. Retorika keras ini mempertegas posisi Korut yang berdiri sejajar dengan Iran dalam menghadapi tekanan internasional.
Janji Bantuan Militer
Dukungan Korea Utara tidak berhenti pada ranah diplomasi. Pada 11 Juli 2025, Duta Besar Korut di Iran secara terbuka menyatakan kesiapannya untuk membantu Teheran jika Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata. Menurutnya, solidaritas Pyongyang dengan rakyat Iran sudah terjalin sejak hari pertama serangan dimulai.
Meskipun tidak menjelaskan secara rinci bentuk bantuan yang akan diberikan, pernyataan ini menegaskan bahwa Korut siap berdiri di garis depan jika konflik kembali memanas. Berbagai laporan yang muncul pada pertengahan Juni 2025 juga menguatkan sinyal adanya dukungan militer dari Korut. Beberapa media menyebut, dukungan tersebut kemungkinan terkait dengan teknologi rudal, bantuan intelijen, serta pelatihan militer.
Dengan reputasi Korut yang dikenal memiliki program rudal balistik dan kemampuan militer rahasia, spekulasi mengenai bentuk bantuan semakin menguat. Meski begitu, hingga kini belum ada konfirmasi resmi mengenai detail teknis dukungan tersebut.
Sejarah Panjang Kerjasama Militer
Hubungan militer antara Korea Utara dan Iran bukanlah hal baru. Sejak dekade 1980-an, kedua negara telah menjalin kerja sama erat, khususnya di bidang persenjataan. Pada masa perang Iran-Irak, Korut menjadi salah satu pemasok utama senjata bagi Teheran. Berbagai jenis peralatan militer, mulai dari artileri, tank, mortir, hingga sistem pertahanan udara, dikirimkan untuk memperkuat kekuatan tempur Iran.
Lebih dari itu, Pyongyang juga melatih personel Iran dalam operasi militer khusus. Salah satu kontribusi yang cukup signifikan adalah transfer pengetahuan dalam pembangunan terowongan bawah tanah yang kemudian digunakan untuk menyembunyikan fasilitas nuklir. Kerja sama ini membuat Iran mampu bertahan sekaligus mengembangkan teknologi militernya meski berada di bawah sanksi internasional yang ketat.
Tidak hanya itu, dalam beberapa tahun terakhir, Korut juga memanfaatkan perjanjian pertahanan dengan Rusia. Langkah ini semakin memperkuat posisinya sebagai bagian dari aliansi strategis bersama negara-negara yang berseberangan dengan blok Barat. Walaupun fokus utama Rusia saat ini masih tertuju pada perang di Ukraina, kehadiran Korut di lingkaran aliansi tersebut memberi sinyal bahwa Pyongyang tidak segan memperluas pengaruhnya ke kawasan Timur Tengah.
Bentuk Dukungan Korea Utara kepada Iran
Jika dirangkum, dukungan Korut kepada Iran selama konflik dengan Israel terbagi dalam tiga bentuk utama:
Dukungan Diplomatik
Korut secara terbuka mengecam serangan Israel, menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, serta menilai Israel sebagai ancaman bagi perdamaian dunia.Dukungan Militer
Pyongyang menyatakan siap membantu Iran jika gencatan senjata dilanggar. Walau belum jelas bentuknya, dukungan diyakini melibatkan teknologi militer, rudal, dan pelatihan khusus.Kerjasama Historis
Sejak lama, Korut telah menjadi pemasok senjata bagi Iran. Selain itu, hubungan keduanya juga meliputi transfer teknologi pertahanan yang mampu menutup celah akibat sanksi internasional.
Implikasi Global
Dukungan Korea Utara terhadap Iran tidak hanya menjadi isu bilateral, melainkan juga menimbulkan kekhawatiran di tingkat global. Amerika Serikat dan sekutunya tentu tidak akan tinggal diam melihat adanya potensi aliansi militer baru yang melibatkan Korut, Iran, serta Rusia. Situasi ini memperlihatkan semakin tajamnya polarisasi geopolitik dunia, di mana blok Barat berhadapan dengan negara-negara yang kerap disebut “musuh tradisional” mereka.
Meski masih bersifat simbolis, pernyataan Korut cukup menggema di panggung internasional. Dengan reputasi negara yang memiliki kemampuan rudal nuklir, setiap janji bantuan militer dari Pyongyang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, tanpa tindakan nyata sekalipun, dukungan moral dari Korut sudah memberikan sinyal kuat kepada Israel dan Barat bahwa Iran tidak sendirian.
Secara keseluruhan, dukungan Korea Utara kepada Iran pada periode konflik Juni–Juli 2025 mencerminkan perpaduan antara solidaritas politik, retorika keras, dan potensi bantuan militer. Dari pernyataan resmi yang mengecam agresi Israel, hingga janji membantu jika gencatan senjata dilanggar, Korut menunjukkan posisinya secara tegas.
Meskipun detail dukungan militer belum diungkap, sejarah panjang kerja sama antara kedua negara memberi alasan kuat untuk mempercayai bahwa komitmen Pyongyang bukan sekadar omongan. Situasi ini pada akhirnya menambah kerumitan peta konflik di Timur Tengah, sekaligus mengingatkan dunia bahwa setiap langkah dalam krisis regional dapat dengan cepat berimbas ke geopolitik global.