Hari Raya Galungan di Bali, Ada Tradisi Penjor yang Memukau Wisatawan

Masyarakat Hindu di Bali akan merayakan Hari Raya Galungan pada Rabu (23/4/2025).
Adapun Hari Raya Galungan, yang dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari menurut kalender Bali, tepatnya pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan.
Perayaan ini bukan hanya sakral, tetapi juga kaya akan simbol dan nilai spiritual yang mendalam.
Makna dan sejarah Galungan
Hari Raya Galungan menandai kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan). Cerita ini berakar dari mitologi tentang seorang raja sakti bernama Mayadenawa yang menolak menyembah dewa dan justru memaksakan rakyatnya untuk menyembah dirinya.
Keangkuhannya memicu murka para dewa, sehingga seorang pemuka agama bernama Mpu Sangkul Putih melakukan semedi untuk mencari pertolongan.
Ia kemudian dibantu oleh Dewa Indra, dewa pengendali cuaca, dan dalam pertempuran yang sengit, Mayadenawa pun dikalahkan.
Kemenangan tersebut menjadi simbol kejayaan kebenaran, dan hingga kini diperingati sebagai Hari Raya Galungan.
Menurut naskah kuno Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada tahun 882, dan meski sempat terhenti, tradisi ini kini kembali dirayakan secara rutin oleh umat Hindu di Bali.
Rangkaian perayaan Galungan hingga Kuningan
Perayaan Galungan tidak hanya berlangsung satu hari, melainkan melalui serangkaian upacara yang panjang dan penuh makna, yang puncaknya pada Hari Galungan dan ditutup dengan Hari Kuningan 10 hari setelahnya.
Berikut adalah tahapan penting dalam rangkaian Galungan:
- Tumpek Wariga – 25 hari sebelum Galungan
- Sugihan Jawa dan Sugihan Bali – dua hari berturut-turut
- Hari Penyekeban, Penyajan, dan Penampahan – tiga hari menjelang Galungan
- Hari Raya Galungan – hari utama perayaan
- Umanis Galungan, Pemaridan Guru, dan Ulihan – hari-hari setelah Galungan
- Pemacekan Agung dan akhirnya Hari Kuningan – sebagai penutup seluruh rangkaian
Setiap tahap memiliki makna spiritual tersendiri, mulai dari persiapan batin hingga penyucian diri dan penghormatan kepada para leluhur.
Keindahan penjor, simbol kemenangan dan penghormatan
Salah satu ciri khas yang paling mencolok selama Hari Raya Galungan adalah kehadiran penjor, tiang bambu tinggi yang melengkung di bagian ujungnya.
Penjor dihias dengan janur (daun kelapa muda), kain kuning atau putih, dan hasil bumi seperti pisang, padi, umbi-umbian, dan sebagainya.
Penjor yang dihiasi oleh hasil bumi pada perayaan Galungan di Bali
Penjor ini berjejer di sepanjang jalan, menciptakan suasana magis yang memukau hati setiap orang yang melihatnya.
Secara simbolik, penjor adalah lambang Gunung Agung, yang dianggap sebagai tempat tinggal para dewa.
Ia juga merepresentasikan kesejahteraan dan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Di Bali, ada dua jenis penjor:
- Penjor Upacara – digunakan untuk keperluan keagamaan seperti Galungan, Kuningan, atau odalan, lengkap dengan perlengkapan suci.
- Penjor Pepenjoran – dipasang sebagai dekorasi dalam acara-acara non-keagamaan, dengan hiasan artistik tanpa muatan spiritual.
Meski di daerah lain seperti Jawa penjor juga dikenal, penggunaannya berbeda. Di Jawa, penjor kerap digunakan sebagai penanda lokasi acara pernikahan, lebih sebagai penunjuk arah daripada sarana upacara sakral.
Bagi wisatawan, penjor menjadi salah satu daya tarik visual dan budaya yang unik di Bali. Kehadirannya menciptakan atmosfer religius dan artistik yang khas.
Tak jarang, wisatawan memanfaatkan momen ini untuk berfoto dan mempelajari lebih dalam tentang makna-makna di balik simbol-simbol Bali yang kaya.
Namun bagi masyarakat Hindu Bali, penjor adalah wujud dari pengastawa, yaitu bentuk penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pembuatannya pun, unsur spiritual menjadi perhatian utama, sehingga tidak hanya indah dipandang, tetapi juga penuh nilai dan doa.