Dianggap Membingungkan, Dedi Mulyadi Sarankan Ganti Nama Kabupaten Bandung Barat

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan agar nama Kabupaten Bandung Barat (KBB) diubah. Usulan ini disampaikan dalam pidatonya pada Rapat Paripurna Hari Jadi ke-18 Kabupaten Bandung Barat, Kamis (19/6/2025), di hadapan 50 anggota DPRD.
Menurut Dedi, nama "Bandung Barat" menyulitkan pembangunan identitas daerah mandiri karena selalu diasosiasikan dengan Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung.
"Ini memang kalimat 'Bandung Barat' jika dilihat dari kacamata branding, agak susah mem-branding-nya. Disebut Bandung Barat yang terbayang selalu Bandung," ujar Dedi.
Dedi menilai nama tersebut hanya menunjuk arah mata angin dan tidak mencerminkan karakter khas wilayah.
Ia menekankan bahwa arah mata angin bersifat relatif dan bisa berbeda tergantung dari sudut pandang orang.
"Kata siapa Bandung Barat? Kata orang Bukanagara, Subang. Tapi bagi orang Cianjur bisa jadi Bandung Timur. Bagi orang Purwakarta, Bandung Selatan. Jadi sulit untuk mengidentifikasi wilayah," lanjutnya.
Mengapa Penamaan Awal Kabupaten Ini Tidak Menggunakan Nama Lain?
Menurut Dedi, saat Kabupaten Bandung Barat terbentuk, sempat muncul beberapa opsi nama yang mencerminkan wilayah seperti Mandalawangi atau Padalarang. Namun, nama-nama tersebut tidak diterima oleh semua pihak.
"Kalau memakai nama Mandalawangi, orang Padalarang nggak terima, kalau pakai nama Padalarang, orang Lembang nggak terima. Akhirnya pakai nama Bandung Barat," jelas Dedi.
Meski demikian, Dedi menyatakan dirinya siap membantu jika ada inisiatif untuk penggantian nama daerah demi membangun citra dan identitas baru yang lebih kuat.
"Biarlah kalau sudah begini namanya. Tapi kalau ada niat untuk membranding, merubah namanya, saya siap membantu agar ada wibawa atau kharismanya," tegasnya.
Bagaimana Karakteristik Wilayah Bandung Barat Menurut Dedi?
Dedi juga mengingatkan pentingnya memahami karakteristik wilayah sebelum mengganti nama.
Ia menyoroti bahwa sebagian wilayah KBB memiliki kedekatan budaya dengan Kota Bandung, sementara sebagian lain lebih dekat ke kultur Cianjur dan Purwakarta.
"Sebagian wilayah memiliki kecenderungan kultur yang sama dengan sebagian Cianjur dan Purwakarta. Mereka suka dengan kultur (budaya Sunda) leluhur," ujarnya.
Lebih lanjut, Dedi menekankan perlunya pendekatan berbasis ekologi dan budaya dalam menata wilayah.
Ia mengutip prinsip-prinsip lokal yang mencerminkan harmonisasi antara alam dan masyarakat.
"Gunung kudu awian, lengkob kudu balongan, lebak kudu sawahan. (Gunung harus tumbuh pohon, cekungan harus berkolam, lembah harus jadi ladang sawah)," tuturnya.
Dengan memahami karakter dan potensi lokal, Dedi menilai wilayah ini dapat membangun identitas baru yang lebih mandiri dan kuat secara budaya maupun ekologis.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".