SMA Swasta di Bandung Sepi Pendaftar, Apakah Imbas Kebijakan Rombel 50 Siswa?

SMA swasta, Bandung, sekolah swasta, Dedi Mulyadi, bandung, SMA swasta di jabar, rombel 50 siswa per kelas di jabar, SMA Swasta di Bandung Sepi Pendaftar, Apakah Imbas Kebijakan Rombel 50 Siswa?

— SMA swasta Pendidikan Membangun Bangsa (PMB) di Kota Bandung menghadapi tantangan besar jelang tahun ajaran baru 2025.

Hingga awal Juli, sekolah swasta yang berlokasi di Jalan Arcamanik itu baru mencatat 12 pendaftar siswa baru.

Kondisi ini membuat Kepala Sekolah SMA PMB, Nurlaela, khawatir terhadap kelangsungan kinerja para guru, khususnya yang telah memiliki sertifikasi. Pasalnya, guru bersertifikasi diwajibkan memenuhi jam mengajar minimal 24 jam per pekan, sesuai ketentuan pemerintah.

"Kami baru menerima 12 murid baru, dan pasti akan kesulitan bagi guru yang sertifikasi untuk memenuhi target kinerjanya," kata Nurlaela saat dihubungi, Sabtu (5/7/2025).

Guru Bersertifikasi Cari Tambahan Jam Mengajar

Saat ini, ada enam guru bersertifikasi di SMA PMB. Namun karena minimnya siswa, sekolah kesulitan untuk menyediakan jam pelajaran yang cukup bagi seluruh guru tersebut.

Meski guru bisa mengisi peran tambahan seperti wali kelas atau pembina ekstrakurikuler, bobotnya hanya dihitung dua jam. Itu pun tidak bisa dibebankan hanya pada satu guru.

"Mau tidak mau, mereka harus mengajar di sekolah lain untuk mengejar kekurangan jam. Tapi tidak menjamin target kinerja mereka akan langsung tercapai," jelas Nurlaela.

Ia mengungkapkan, sekolah swasta lain di Bandung juga menghadapi masalah serupa—jumlah pendaftar baru sangat minim. Alhasil, mencari tambahan jam mengajar pun menjadi tantangan tersendiri.

Penurunan Jumlah Pendaftar, Diduga Imbas Kebijakan Rombel

Menurut Nurlaela, situasi ini baru terjadi tahun ini. Tahun lalu, sekolahnya masih mampu menerima puluhan siswa baru dan membuka dua rombongan belajar (rombel). Kini, hanya belasan siswa yang mendaftar.

Ia menduga, penurunan ini terjadi akibat kebijakan penambahan kapasitas rombel di sekolah negeri, dari sebelumnya 36 siswa menjadi 50 siswa per kelas.

"Kebijakan penambahan rombel dari 36 siswa menjadi 50 siswa di sekolah negeri ini seperti memadamkan nasib guru sertifikasi di sekolah swasta," ucapnya lirih.

Nurlaela berharap ada solusi konkret dari pemerintah untuk mendukung kelangsungan sekolah swasta dan menjaga keberlangsungan profesi guru-guru bersertifikasi.

"Kondisi ini membuat kami cukup sedih. Kami berharap ada jalan keluar supaya para guru tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik," tambahnya.

Respons Gubernur Dedi Mulyadi: Ini Situasi Darurat

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, buka suara soal alasan di balik kebijakan penambahan jumlah siswa per rombel di sekolah negeri. Menurutnya, langkah ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin akses pendidikan bagi semua warga.

“Negara tidak boleh menelantarkan warganya, sehingga tidak bersekolah. Jangan sampai warga mendaftar capek-capek ingin sekolah, tapi negara tidak memfasilitasi,” kata Dedi.

Ia menegaskan, dirinya tak ingin ada anak-anak di Jawa Barat yang putus sekolah hanya karena keterbatasan daya tampung.

“Saya sebagai Gubernur Jabar bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak di Jabar. Saya tidak menginginkan anak-anak Jabar putus sekolah,” ujarnya.

Rombel yang diperluas hingga maksimal 50 siswa itu, lanjut Dedi, bukan berarti semua kelas harus diisi sebanyak itu. Jumlahnya bisa disesuaikan, misalnya 30, 35, atau 40 siswa, tergantung pada kapasitas sekolah dan kondisi ekonomi masyarakat setempat.

“Bisa saja dia mampu bayar SPP, tapi berat di ongkos ke sekolah. Maka, daripada tidak sekolah, lebih baik sekolah walaupun di kelasnya ada 50 siswa,” jelasnya.

Dedi menegaskan bahwa ini adalah kebijakan sementara karena situasi darurat. Ia menjanjikan, ke depan Pemprov Jabar akan membangun ruang kelas baru agar jumlah siswa per kelas bisa dikurangi.

“Kenapa cara ini dilakukan? Karena darurat. Daripada rakyat tidak sekolah, lebih baik sekolah. Daripada mereka nongkrong di pinggir jalan lalu berbuat sesuatu yang tidak sesuai usianya, lebih baik dia sekolah, walaupun sederhana. Itu prinsip saya,” tutur Dedi.

Data Anak Tak Sekolah di Jabar Masih Tinggi

Kebijakan ini diambil menyusul tingginya angka anak tidak sekolah di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS per November 2024, tercatat 658.831 anak tidak bersekolah.

Rinciannya, sebanyak 164.631 anak putus sekolah, 198.570 anak sudah lulus tapi tak melanjutkan pendidikan, dan 295.530 anak belum pernah mengenyam bangku sekolah.

Untuk itu, Dedi meminta semua SMA dan SMK negeri di Jawa Barat, yang berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi, agar bersedia menampung lebih banyak siswa.

“Semoga kebijakan ini bisa mencegah masyarakat Jabar untuk tidak putus sekolah,” pungkasnya.

Sebagian berita ini tayang di TribunJabar.id dengan judul Kisah Pilu SMA Swasta di Kota Bandung, Ada yang Baru Terima 12 Calon Murid Baru