Ini 4 Kebijakan Wali Kota Bandung Farhan yang Berlawanan dengan Aturan Dedi Mulyadi

kebijakan daerah, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Jam masuk sekolah, Ini 4 Kebijakan Wali Kota Bandung Farhan yang Berlawanan dengan Aturan Dedi Mulyadi, 1. Rapat di Hotel, 2. Teras Cihampelas, 3. Larangan Membawa HP ke Sekolah, 4. Jam Masuk Sekolah

 Dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia, otonomi daerah menjadi prinsip utama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Artinya, kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan menyusun kebijakan daerah sesuai kebutuhan masing-masing wilayah.

Hal inilah yang terjadi antara Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Keduanya memiliki sejumlah perbedaan dalam kebijakan, mulai dari penyelenggaraan rapat, pengelolaan fasilitas umum, hingga aturan sekolah.

Apa Saja Kebijakan Farhan yang Berbeda dari Dedi Mulyadi?

1. Rapat di Hotel

Gubernur Dedi Mulyadi melarang ASN di lingkungan Pemprov Jabar menggelar rapat di hotel demi efisiensi anggaran dan keadilan fiskal, terutama bagi daerah tertinggal. Ia menilai pengeluaran untuk rapat di hotel berbintang bisa menimbulkan pemborosan.

"Apakah daerah-daerah miskin itu rela uang pajaknya dipakai buat rapat-rapat di hotel berbintang di kota besar?" kata Dedi.

Berbeda dengan itu, Farhan memperbolehkan Pemkot Bandung mengadakan rapat di hotel, terutama hotel bintang dua dan tiga. Alasannya untuk mendukung sektor perhotelan yang terpukul pasca-pandemi.

"Kalau dibiarkan, maka tutup PHK terus mau bagaimana," ujar Farhan.

2. Teras Cihampelas

Dedi secara terbuka menantang Farhan untuk membongkar Teras Cihampelas karena dianggap mengganggu lalu lintas dan menimbulkan bau tak sedap.

Namun Farhan menolak. Ia menyebut pembongkaran akan berdampak besar karena nilai aset yang tinggi dan risiko hukum.

"Kajian hukumnya berat, satu kita sudah appraisal, itu (nilai) sebenarnya Rp 80 miliar," kata Farhan.

Farhan menambahkan bahwa pembongkaran aset daerah dengan nilai di atas Rp 5 miliar dan masih berfungsi bisa melanggar aturan, serta membutuhkan proses hukum dan politik yang panjang.

3. Larangan Membawa HP ke Sekolah

Dedi melarang murid SD dan SMP membawa HP ke sekolah untuk melindungi anak dari penyalahgunaan teknologi. Farhan tidak sependapat. Ia tidak melarang, tetapi mengatur penggunaannya.

"Bukan dilarang ya, tapi diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu proses belajar mengajar," ujar Farhan.

Ia menekankan bahwa ponsel siswa harus dikumpulkan saat tidak digunakan untuk mendukung KBM.

4. Jam Masuk Sekolah

Surat edaran Gubernur mengatur jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB untuk semua jenjang. Farhan memilih penyesuaian. SD masuk pukul 07.30 WIB, SMP pukul 07.00 WIB, sementara SMA tetap mengikuti kebijakan provinsi.

"Jadi kita pecah, ini bagian dari upaya agar traffic-nya enggak numpuk," ujar Farhan.

Menurutnya, sistem ini lebih efektif mengurangi kemacetan pagi hari di Kota Bandung.

Secara hukum, UU Pemerintahan Daerah memang memberi ruang bagi kepala daerah untuk merumuskan kebijakan sesuai kebutuhan lokal.

Namun, perbedaan ini menunjukkan pentingnya koordinasi antara pemerintah kota dan provinsi agar tidak membingungkan masyarakat.

Perbedaan pandangan antara Farhan dan Dedi Mulyadi menunjukkan dinamika dalam demokrasi lokal.

Apakah Farhan lebih responsif terhadap konteks kota? Atau apakah Dedi lebih konsisten dalam efisiensi anggaran dan kedisiplinan publik? Masyarakat berhak menilai berdasarkan manfaat nyata di lapangan.

Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan bukanlah penghalang, tetapi ruang dialog. Baik Farhan maupun Dedi memiliki alasan dan pendekatan masing-masing.

Yang terpenting adalah keberpihakan pada kepentingan publik, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan yang diambil.

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Daftar Kebijakan Walkot Bandung Farhan Bertentangan dengan Dedi Mulyadi, Terbaru Jam Masuk Sekolah.