Bertemu Dirut Utama Pertamina, Komut PHE Denny JA: Make Pertamina Great Again!

Bertemu Dirut Utama Pertamina, Komut PHE Denny JA: Make Pertamina Great Again!

Pertamina yang berdiri pada tahun 1970-an menjadi perusahaan yang disegani dunia. Pertamina berdiri sebagai simbol keberanian sebuah negara berkembang yang tak hanya bermimpi besar, tapi juga sempat mencapainya.

Di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo, di era Orde Baru, produksi minyak Pertamina menembus angka 1,2 juta barel per hari.

Kata Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE), Denny JA, capaian itu jauh melampaui kebutuhan domestik. Indonesia kala itu bukan sekadar swasembada energi, tetapi juga eksportir utama minyak mentah

Perusahaan yang dahulu menjadi lambang kebanggaan nasional kini kerap dikaitkan dengan problem struktural. Produksi yang merosot hingga tinggal sekitar 600 ribu barel per hari.

Lalu sering menjadi berita. Bayang-bayang mafia impor, korupsi dalam pengadaan, serta beban utang yang sempat membengkak pada era 1990-an hingga awal 2000-an. Bahkan menjadi salah satu pemicu krisis ekonomi 1998.

Lebih menyakitkan lagi, kata Denny, Petronas perusahaan minyak Malaysia yang dahulu berguru pada Pertamina telah menjelma menjadi raksasa global.

Petronas tampil dengan struktur korporasi yang ramping, transparan, dan modern.

"Sementara Pertamina, selama bertahun-tahun, terseok oleh politik internal dan beban birokrasi," ucapnya.

Lantas pada 4 Juli 2025, dirinya selaku Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) bertemu dengan Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri.

Percakapan empat mata. Sangat akrab dan penuh muatan visi strategis dan hanya berbincang selama satu jam. Namun dari percakapan itu lahir kesepahaman yang kuat ingin membuat Pertamina bangkit dengan slogan Make Pertamina Great Again!

"Bukan sekadar slogan, tetapi sebuah komitmen kerja. Dengan program konkret, kerangka waktu, metrik evaluasi, dan semangat kolaboratif," ucapnya.

Kebangkitan energi bukan sekadar urusan volume produksi. Ia juga menyentuh keadilan sosial. Masyarakat dan daerah penghasil harus diberdayakan.

Program CSR mesti menjangkau pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan ekonomi lokal.

"Kebangkitan. Pertamina tak boleh hanya bersifat teknokratis. Ia harus berakar pada imajinasi bangsa," tuturnya. (Asp)