Kodak Terancam Bangkrut, Akhir Warisan 130 Tahun Fotografi Modern

Nama Kodak mungkin sudah jarang terdengar di era digital saat ini. Namun bagi generasi sebelum kamera ponsel jadi norma, Kodak adalah ikon. Perusahaan ini ikut membentuk cara dunia mengenang momen, satu jepretan film dalam sekali klik.
Namun setelah lebih dari 130 tahun beroperasi, Eastman Kodak Co. kini berada di ambang kebangkrutan.
Dalam laporan keuangan kuartal kedua yang disampaikan ke Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC), Kodak menyebut adanya “keraguan substansial” atas kemampuan mereka untuk terus bertahan.
Kodak mencatat kerugian besar dan menanggung utang lebih dari 470 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,5 triliun. Perusahaan juga mengakui tidak memiliki cukup dana atau akses pembiayaan untuk melunasi utang yang jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan.
Dari kamera film hingga kamera digital pertama
Didirikan oleh George Eastman pada 1889, Kodak adalah pionir kamera praktis dan pelopor fotografi rumahan. Kamera Kodak 1 dan Brownie memudahkan siapa pun untuk mengambil foto tanpa harus jadi fotografer profesional.
Di masa jayanya, Kodak juga memperkenalkan kamera berwarna pertama, bahkan menjadi perusahaan pertama yang menciptakan kamera digital pada tahun 1975, ironisnya, inovasi ini tak disambut hangat oleh internal perusahaan kala itu.
Kodak sebenarnya pernah mengajukan kebangkrutan pada 2012 karena gagal beradaptasi dengan era digital. Saat itu, mereka mencoba bangkit dengan fokus ke bisnis baru seperti kimia fotografi, bahan farmasi, dan teknologi cetak.
Namun hasilnya belum cukup menyelamatkan. Pada kuartal kedua 2025 yang berakhir 30 Juni lalu, Kodak hanya membukukan pendapatan konsolidasi sebesar 263 juta dollar AS, turun dibanding tahun lalu.
Laba kotor anjlok 12 persen, dan saldo kas ikut turun menjadi 155 juta dollar AS—merosot hampir 23 persen hanya dalam setengah tahun.
Langkah darurat dan masa depan tak pasti
Untuk menjaga arus kas, Kodak kini memangkas pengeluaran, termasuk dengan program pensiun dan pengurangan investasi. Fokus perusahaan diarahkan ulang ke bahan kimia canggih, dengan harapan bisa menciptakan pertumbuhan jangka panjang.
“Kami akan terus fokus mengurangi biaya dan mencari jalan untuk membayar utang kami,” ujar David Bullwinkle, Chief Financial Officer Kodak, dalam pernyataan resminya, seperti dikutip KompasTekno, Sabtu (16/8/2025).
Sementara itu, CEO Kodak Jim Continenza menegaskan bahwa beban tarif impor tidak terlalu berdampak karena sebagian besar produk mereka dibuat di AS—termasuk pelat cetak, tinta, mesin cetak inkjet, hingga bahan farmasi.
Kisah Kodak bisa jadi contoh paling tragis dari perusahaan besar yang gagal beradaptasi dengan perubahan zaman. Meski sempat menjadi simbol inovasi dan pemimpin pasar, Kodak tak cukup cepat dalam menanggapi disrupsi digital.
Kini, dunia menyaksikan satu demi satu warisan besar perusahaan ini memudar, bersamaan dengan kemungkinan bahwa nama Kodak tak lagi jadi bagian dari masa depan industri fotografi.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!