Terpaksa Manut, Ketua KPK Akui Pembebasan Bersyarat Setnov Terasa Tidak Adil

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengakui kebijakan pemberian pembebas bersyarat terhadap terpidana kasus kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) Setya Novanto (Setnov) terasa tidak adil.
"Saya yakin ada yang merasa kurang adil,” kata Setyo saat dihubungi awak media dari Jakarta, Selasa (19/8).
Namun, Setyo mengingatkan pemberlakuan bebas bersyarat merupakan bagian dari sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Untuk itu, lanjut dia, semua pihak terpaksa harus bisa menerimanya. “Prosedur (pembebasan bersyarat Setnov) itu harus dijalankan," imbuh orang nomor satu di lembaga antirasuah itu, dikutip Antara.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengingatkan kepada semua pihak kasus yang menjerat Setnov merupakan kejahatan yang serius karena berdampak terhadap seluruh masyarakat Indonesia.
KPK menambahkan kasus korupsi e-KTP termasuk kejahatan yang serius karena bukan hanya dilihat dari besarnya kerugian negara, melainkan degradasi kualitas pelayanan publik.
Seperti diketahui, mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, yang merupakan terpidana kasus korupsi e-KTP mendapatkan bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat.
Pemberian bebas bersyarat kepada Setya Novanto sudah sesuai dengan aturan dengan telah menjalani dua pertiga masa pidananya dari total pidana penjara 12,5 tahun.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) sekaligus mantan Ketua DPR 2016-2017, Setya Novantoalias Setnov.
Lewat amar putusan itu, MA mengurangi 2,5 tahun masa hukuman kurungan Setnov dari semula 15 tahun menjadi 12,5 tahun.
Perkara nomor: 32 PK/Pid.Sus/2020 itu diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Surya Jaya dengan hakim anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono, dengan Panitera Pengganti Wendy Pratama Putra. Putusan dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025. (*)