BYD Disebut Belum Libatkan Penyedia Komponen Lokal
Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) menunggu pabrikan otomotif penerima insentif impor mobil listrik atau Electric Vehicle (EV) mulai serap komponen buatan lokal.
Perlu diketahui, pemberian insentif mobil listrik impor dinilai jadi salah satu pemicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor otomotif.
Meskipun penjualan kendaraan khususnya mobil listrik bisa mencatatkan hasil positif, unitnya tidak melibatkan komponen produksi dalam negeri.
Saat ini, BYD menjadi salah satu merek mobil listrik penerima insentif impor EV yang mencatatkan penjualan positif.

Pembangunan fasilitas perakitan BYD di Subang yang ditargetkan rampung tahun depan sebenarnya jadi angin segar bagi industri sebab menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Tetapi patut jadi perhatian sebab hingga saat ini, BYD disebut belum memiliki kesepakatan dengan penyedia komponen di dalam negeri. Padahal tinggal menghitung bulan menuju selesainya pabrik tersebut.
Perwakilan GIAMM menyebutkan bahwa satu setengah tahun lalu, Kementerian Perindustrian telah mewadahi kegiatan business matching buat BYD bersama lebih dari 100 perusahaan supplier.
“Dan benar sampai saat ini belum ada satupun yang deal. Kendalanya sendiri belum jelas, beberapa teman anggota menginformasikan lebih ke masalah harga,” kata Rachmat Basuki, Sekretaris Jenderal GIAMM kepada KatadataOTO beberapa waktu lalu.
Pihaknya masih menunggu kejelasan dari BYD. Mengingat di antara banyak merek penerima insentif lain, BYD mencatatkan penjualan paling tinggi.
Mengacu pada data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), wholesales (penyaluran dari pabrik ke diler) mobil listrik BYD di Juli 2025 adalah 2.335 unit.
Ini masih jauh di atas merek penerima insentif mobil listrik impor lainnya seperti Aion di 421 unit dan Geely 249 unit.
Sementara jika dilihat secara kumulatif periode Januari-Juli 2025, wholesales BYD 16.427 unit. Belum termasuk sub merek Denza di angka 6.256 unit.

“Untuk yang lain (penerima insentif selain BYD) biasanya langsung business-to-business (B2B),” ucap Rachmat.
Dirinya berharap skenario seperti Completely Knocked Down (CKD) sederhana tanpa komponen lokal tidak terjadi.
Tanpa lokalisasi, industri komponen di sektor otomotif menurut Rachmat tidak akan mendapatkan keuntungan dari perakitan lokal BYD di Indonesia.