Sejarah dan Tradisi Panjang Mulud, Cara Warga Banten Rayakan Maulid Nabi Muhammad

Maulid Nabi Muhammad, sejarah panjang mulud, panjang mulud banten, panjang mulud, Sejarah dan Tradisi Panjang Mulud, Cara Warga Banten Rayakan Maulid Nabi Muhammad

Suasana meriah terlihat di Kampung Umbul Kapuk, Kota Serang, Banten, saat ratusan warga berkumpul untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Mereka menggelar tradisi tahunan yang dikenal dengan nama “Panjang Mulud”, sebuah kegiatan turun-temurun yang penuh makna.

Sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Arosia, Selamat Hidayat, mengatakan, keberhasilan acara ini tidak lepas dari keterlibatan warga secara menyeluruh.

Menurutnya, pelaksanaan Panjang Mulud selalu dirancang melalui musyawarah dengan tokoh masyarakat dan pengurus lingkungan.

"Alhamdulillah, semua warga sepakat mengikuti. Ini adalah wujud antusiasme masyarakat yang sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun," ujarnya dikutip dari Antara.

Selamat menambahkan, sekitar 150 keluarga di wilayah tersebut menunjukkan kekompakan luar biasa. Tradisi ini, kata dia, bukan sekadar seremoni, melainkan juga bentuk kesetiaan dan cara umat memuliakan Nabi Muhammad SAW.

Rangkaian Panjang Mulud

Acara dimulai dengan doa bersama pada Minggu pagi yang dihadiri warga serta tokoh masyarakat. Setelah itu, rangkaian kegiatan berlanjut ke puncak acara berupa arak-arakan “panjang”.

Panjang adalah berbagai jenis makanan hingga kebutuhan pokok (sembako) yang disusun, dihias, lalu diarak keliling kampung.

"Nantinya, isi dari 'panjang' ini akan dibagikan kepada warga dalam sebuah tradisi yang disebut 'ngeropok'.

Masyarakat, bahkan dari luar kampung, biasanya datang tanpa diundang untuk ikut serta mendapatkan berkah dari perayaan Maulid," jelas Selamat.

Ia juga menekankan bahwa semangat warga untuk ikut serta tidak memandang latar belakang ekonomi. Baik yang mampu maupun yang kurang mampu, semua berusaha berpartisipasi karena dianggap sebagai wujud pemenuhan spiritual.

Sejarah Panjang Mulud

Tradisi Panjang Mulud sudah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Banten. Menurut laman Kemdikbud, tradisi ini mulai digelar secara besar-besaran sejak masa Kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682), saat kerajaan berada di puncak kejayaan.

Meski setelah masa Sultan perayaannya tidak semeriah dahulu, bahkan ketika Jepang menduduki Indonesia, Panjang Mulud tetap dilestarikan.

Istilah “panjang” diyakini berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, pajang, yang berarti hiasan atau dekorasi. Sementara “mulud” berarti kelahiran, yakni kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang menafsirkan kata “panjang” sebagai memajang atau memperlihatkan, merujuk pada kebiasaan masyarakat mengarak benda-benda yang dihias.

Pelaksanaan di Berbagai Daerah

Panjang Mulud biasanya digelar pada bulan Rabiul Awal di sejumlah wilayah Banten, seperti Cilegon, Serang, Pandeglang, dan Lebak. Perencanaannya dilakukan lewat musyawarah desa dengan melibatkan tokoh masyarakat dan aparat setempat.

Setelah panitia terbentuk, warga mulai membuat Panjang dengan beragam bentuk tanpa aturan baku. Kreativitas warga sering melahirkan Panjang berbentuk rumah, mobil, pesawat, atau perahu, yang kemudian dihias dengan uang, pakaian, perlengkapan salat, bahan makanan, dan aneka dekorasi lain.

Sehari sebelum pawai, masyarakat biasanya mengadakan makan bersama serta pengajian atau ceramah maulid. Esok harinya, Panjang diarak keliling kampung hingga berakhir di lapangan atau halaman masjid. Di lokasi tersebut, hiasan Panjang kemudian diperebutkan dalam tradisi ngeropok.

Kalau dulu masyarakat berebut langsung, kini sebagian desa sudah memakai sistem kupon agar pembagian lebih tertib dan adil.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.