Sejarah Beduk, dari Tradisi Hindu-Buddha hingga Simbol Islam Nusantara

Beduk, beduk, Sejarah Beduk, Sejarah beduk, sejarah beduk, sejarah bedug di Indonesia, sejarah bedug berasal dari, Sejarah Beduk, dari Tradisi Hindu-Buddha hingga Simbol Islam Nusantara

— Beduk dikenal luas sebagai alat musik tabuh tradisional yang kerap digunakan dalam aktivitas keagamaan Islam di Indonesia.

Meski kini identik dengan penanda waktu salat dan bulan Ramadan, jejak sejarah beduk ternyata telah ada jauh sebelum Islam berkembang di Nusantara.

Beduk merupakan alat musik berbentuk lonjong dengan diameter lebar dan lubang di tengahnya, yang ditutup kulit kering pada kedua sisinya.

Beberapa jenis kulit yang umum digunakan untuk membuat beduk adalah kulit kambing, sapi, dan kerbau.

Dalam praktik sehari-hari, fungsi beduk tak hanya terbatas sebagai penanda waktu ibadah. Alat ini juga berfungsi sebagai media komunikasi tradisional untuk menyampaikan informasi penting kepada masyarakat.

Sejarah Beduk di Nusantara

Sejarah beduk di Indonesia tercatat sudah ada sebelum masa kedatangan Islam.

Menurut sejumlah catatan sejarah, alat sejenis beduk sudah dikenal di era kerajaan Hindu-Buddha seperti Majapahit dan Sriwijaya.

Beduk digunakan dalam upacara keagamaan, pengiring prosesi ritual, penanda waktu ibadah, hingga sebagai alat komunikasi kerajaan untuk mengumumkan keputusan penting atau mengumpulkan masyarakat.

Salah satu bukti tekstual yang menguatkan keberadaan beduk pada masa lampau tertulis dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari era Majapahit.

Dalam kidung tersebut dijelaskan bahwa beduk telah digunakan sebagai alat untuk menyampaikan perintah berkumpul.

Ketika beduk dibunyikan, itu menandakan bahwa masyarakat di wilayah kekuasaan Majapahit harus berkumpul dan bersiap untuk berperang.

“Ketika beduk dibunyikan, itulah tanda bagi orang-orang yang berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit untuk berkumpul dan bersiap perang,” tulis Kidung Malat.

Catatan lain yang turut memperkuat keberadaan beduk datang dari laporan perjalanan Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda yang mengunjungi Indonesia antara tahun 1595 hingga 1597.

Dalam catatannya, de Houtman menyebut bahwa di Jawa terdapat berbagai alat waditra seperti kentongan, gong, bonang, dan termasuk beduk.

Ia menulis bahwa beduk merupakan alat yang paling populer di Jawa, khususnya di wilayah Banten.

Catatan Cornelis de Houtman ini menggambarkan kondisi awal perkembangan Islam di Indonesia.

Pada abad ke-16, Kesultanan Banten telah berdiri, dan keberadaan beduk sebagai alat komunikasi maupun keagamaan telah mapan.

Bedug dan Islamisasi di Nusantara

Meskipun bukti sejarah menunjukkan bahwa beduk telah dikenal jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara, tidak sedikit pula pendapat yang mengaitkan asal-usul beduk dengan proses Islamisasi.

Seiring dengan berkembangnya Islam di Indonesia, terutama melalui peran para Walisongo di Jawa pada abad ke-13 hingga ke-15, beduk mulai diadopsi dalam tradisi keagamaan Islam.

Beduk menjadi alat penting dalam menandai waktu salat, terutama saat azan belum bisa didengar secara luas oleh masyarakat di pedesaan. Penggunaan beduk juga banyak dijumpai selama bulan Ramadan, sebagai penanda waktu sahur dan berbuka puasa.

Fungsi keagamaan beduk menjadikannya simbol penting dalam Islam Nusantara. Bahkan, di beberapa wilayah seperti Sumatera Selatan, beduk di masjid juga digunakan untuk menyampaikan kabar duka, seperti berita kematian.

Namun, irama pukulan beduk yang digunakan untuk kabar kematian berbeda dengan yang digunakan untuk menandai waktu salat.

Beduk sebagai Simbol Sosial dan Budaya

Tak hanya sebagai alat keagamaan, beduk juga memiliki fungsi sosial dan budaya yang kuat. Tradisi memukul bedug saat malam takbiran menjadi bagian penting dari perayaan Idul Fitri di berbagai daerah.

Selain itu, beduk juga digunakan dalam berbagai kesenian daerah. Di Banten, terdapat kesenian Bedug Kerok yang diciptakan pada masa krisis ekonomi tahun 1998 sebagai bentuk hiburan rakyat.

Salah satu beduk terbesar di dunia saat ini diyakini berada di Masjid Darul Muttaqien, Purworejo, Jawa Tengah. Bedug tersebut merupakan peninggalan tokoh penyebar Islam, Kiai Bagelen.

Keberadaan beduk di Indonesia mencerminkan akulturasi budaya yang kaya antara tradisi lokal dan ajaran Islam. Beduk bukan hanya alat musik, tetapi juga simbol identitas Islam Nusantara yang damai, inklusif, dan adaptif.

Masjid Menara Kudus menjadi salah satu contoh konkret akulturasi ini. Masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus tersebut memadukan arsitektur Hindu-Buddha dengan fungsi Islam, dan memiliki bedug sebagai pelengkap utama dalam ritual keagamaannya.

Seiring perjalanan sejarah, beduk telah menjadi warisan budaya yang tak lekang oleh waktu.

Fungsi beduk sebagai media komunikasi, alat keagamaan, hingga simbol sosial budaya membuktikan bahwa ia bukan hanya benda mati, melainkan saksi dari proses panjang penyebaran dan penerimaan Islam di tanah air.

SUMBER: (Penulis: Susanto Jumaidi, Editor: Tri Indriawati), Antaranews. com